SYEKH ABU YAZID AL-BUSTHOMY
Sabtu, 13 September 2014
0
komentar
Abu
Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami, lahir di Bustham
terletak di bagian timur Laut Persi. Meninggal di Bustham pada tahun 261
H/874 M. Beliau merupakan salah seorang Sulton Aulia, yang juga sebagai
salah satu Syeikh yang ada dalam silsilah dalam thoriqoh Sadziliyah dan
beberapa thoriqoh yang lain. Kakek Abu Yazid merupakan penganut agama
Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di
Bustham.
Kehidupan
Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam
kandungan. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan
kehalalannya”, ibunya sering berkata pada Abu Yazid, “engkau yang masih
berada didalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum
makanan itu kumuntahkan kembali”. Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu
Yazid sendiri. Setelah sampai waktunya, si ibu mengirim Abu Yazid ke
sekolah untuk mempelajari Al Qur-an. Pada suatu hari gurunya menerangkan
arti satu ayat dari surat Luqman yang berbunyi, “Berterima kasihlah
kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu”.
Ayat
ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia lalu meletakkan batu
tulisnya dan berkata kepada gurunya, “ijinkanlah aku pulang, ada yang
hendak kukatakan pada ibuku”. Si guru memberi ijin, Abu Yazid lalu
pulang kerumah. Ibunya menyambut dengan kata-kata,”Thoifur, mengapa
engkau sudah pulang ? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu
kejadian istimewa ?”. “Tidak” jawab Abu Yazid, “Pelajaranku sampai pada
ayat dimana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepada
engkau wahai ibu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu
yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu,
mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang
atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk
Dia semata”. “Anakku” jawab ibunya, “aku serahkan engkau kepada Allah
dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau
menjadi hamba Allah.
Di
kemudian hari Abu Yazid berkata, “Kewajiban yang semula kukira sebagai
kewajiban yang paling ringan, ternyata merupakan kewajiban yang paling
utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti
kepada ibuku, itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala
sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan
pengabdian kepada Allah. Kejadiannya adalah sebagai berikut : Pada suatu
malam, ibu meminta air kepadaku. Maka akupun mengambilnya, ternyata
didalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi
itupun kosong. Oleh karena itu, aku pergi kesungai lalu mengisi kendi
tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur”.
Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika
ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa kemudian mendo’akanku. Waktu
itu terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku.
“Mengapa engkau tetap memegang kendi itu ?” ibuku bertanya. “Aku takut
ibu terjaga sedang aku sendiri terlena”, jawabku. Kemudian ibu berkata
kepadaku, “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka”. Sepanjang malam aku
berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan
agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat
lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali”.
Abu
Zayid melakukan disiplin diri dengan terus menerus dan berpuasa di
siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan
seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari
setiap pelajaran yang mereka berikan. Diantara guru-gurunya itu ada
seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk dihadapannya,
tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya,”Abu Yazid, ambilkan buku yang di
jendela itu”.”Jendela? Jendela yang mana?”, tanya Abu Yazid.”Telah
sekian lama engkau belajar di sini dan tidak pernah melihat jendela
itu?””Tidak”, jawab Abu Yazid, “apakah peduliku dengan jendela. Ketika
menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang
kesini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini”.”Jika demikian”,
kata si guru,” kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai”.
Abu
Yazid mendengar bahwa di suatu tempat ada seorang guru besar. Dari jauh
Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah dekat, Abu Yazid
menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu meludah ke arah kota Makkah
(diartikan menghina kota Makkah), karena itu segera ia memutar
langkahnya.”Jika ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari
jalan Allah”, Abu Yazid berkata mengenai guru tadi,”niscaya ia tidak
akan melanggar hukum seperti yang dilakukannya”. Diriwayatkan bahwa
rumah Abu Yazid hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah masjid,
ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan menghormati masjid itu. Setiap
kali Abu Yazid tiba di depan sebuah masjid, beberapa saat lamanya ia
akan berdiri terpaku dan menangis.”Mengapa engkau selalu berlaku
demikian ?” tanya salah seseorang kepadanya. “Aku merasa diriku sebagai
seorang wanita yang sedang haid. Aku merasa malu untuk masuk dan
mengotori masjid”, jawabnya. (Lihatlah do’a Nabi Adam atau do’a Nabi
Yunus a.s “Laa ilaha ila anta Subhanaka inni kuntum minadholimin”, Tidak
ada tuhan melainkan engkau ya Allah, sesungguhnya aku ini termasuk
orang-orang yang dholim. Atau lihat do’a Abunawas,’ Ya Allah kalau
Engkau masukkan aku ke dalam sorga, rasanya tidaklah pantas aku berada
di dalamnya. Tetapi kalau aku Engkau masukkan ke dalam neraka, aku tidak
akan tahan, aku tidak akan kuat ya Allah, maka terimalah saja
taubatku).
Suatu
ketika Abu Yazid di dalam perjalanan, ia membawa seekor unta sebagai
tunggangan dan pemikul perbekalannya.”Binatang yang malang, betapa berat
beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!”, seseorang berseru. Setelah
beberapa kali mendengar seruan ini, akhirnya Abu Yazid menjawab, “Wahai
anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul beban”. Kemudian si
pemuda meneliti apakah beban itu benar-benar berada diatas punggung onta
tersebut. Barulah ia percaya setelah melihat beban itu mengambang satu
jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikitpun tidak memikul
beban tersebut. “Maha besar Allah, benar-benar menakjubkan!”, seru si
pemuda.”Jika kusembunyikan kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku,
engkau akan melontarkan celaan kepadaku”, kata Abu Yazid kepadanya.
“Tetapi jika kujelaskan kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat
memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?”
MI’ROJ
Abu
Yazid berkisah, “Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah
Dia membebaskan diriku dari semua makhluk-Nya, menerangi diriku dengan
Cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahasia-Nya dan menunjukkan
kebesaran-Nya kepadaku. Setelah menatap Allah akupun memandang diriku
sendiri dan merenungi rahasia serta hakekat diri ini. Cahaya diriku
adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya, kebesaran diriku
sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya, kemuliaan diriku
hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan
kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang didalam diriku
segalanya kotor dan cemar. Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku
bahwa aku hidup karena cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku
bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah kulakukan,
hanya karena kemaha kuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata
lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan
realitas. Segala kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari diriku
sendiri, sedang selama ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti
kepada-Nya.
Hiasilah
diriku dengan ke-Esaan-Mu, sehingga apabila hamba-hamba-Mu memandangku
yang terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat
Sang Pencipta mata, bukan diriku ini”. Keinginanku ini dikabulkan-Nya.
Ditaruh-Nya mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku
mengalahkan jasmaniku. Setelah itu, Dia berkata, “temuilah
hamba-hamba-Ku itu”. Maka kulanjutkan pula pengembaraan yang tak
berkesudahan di lautan tanpa tepi itu untuk beberapa lama, aku katakan,
“Tidak ada seorang manusiapun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih
tinggi daripada yang telah kucapai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang
lebih tinggi daripada ini”.
Tetapi
ketika kutajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di telapak
kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku, bahwa tingkat terakhir yang dapat
dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari
kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat
kubayangkan. Kemudian ruhku menembus segala penjuru di dalam kerajaan
Allah. Surga dan neraka ditunjukkan kepada ruhku itu tetapi ia tidak
peduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya peduli ?.
Semua
sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak dipedulikannya. Ketika
ruhku mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad SAW,
terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu
tirai cahaya. Seandainya kujejakkan kaki ke dalam lautan api yang
pertama itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan
bingung sehinga aku menjadi sirna. Tetapi betapapun besar keinginanku,
aku tidak berani memandang tiang perkemahan Muhammad Rasulullah Saw.
Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku tidak berani
berjumpa dengan Muhammad Rasulullah Saw. Kemudian Abu Yazid berkata, “Ya
Allah, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri.
Bagiku tiada jalan yang menuju kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku
tidak dapat menembus keakuan ini, apakah yang harus kulakukan?” Maka
terdengarlah perintah, “Untuk melepas keakuanmu itu ikutilah kekasih
Kami, Muhammad Saw. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan ikutilah
jejaknya. Maka terjunlah aku ke dalam lautan api yang tak bertepi dan
kutenggelamkan diriku kedalam tirai-tirai cahaya yang mengelilingi
Muhammad Rasululah Saw. Dan kemudian tak kulihat diriku sendiri, yang
kulihat Muhammad Rasulullah Saw. Aku terdampar dan kulihat Abu Yazid
berkata,” aku adalah debu kaki Muhammad, maka aku akan mengikuti jejak
beliau Saw.
Suatu
hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan
yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah
seekor anjing. Abu Yazid menyingkir kepinggir untuk memberi jalan kepada
binatang itu. Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan Abu Yazid
ini dan berkata,” Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas
segala makhluk-makhluk-Nya. Abu Yazid adalah “Raja diantara kaum
mistik”, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya
yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing. Apakah pantas
perbuatan seperti itu ?” Abu Yazid menjawab,” Anak muda, anjing tadi
secara diam-diam telah berkata kepadaku, ‘Apakah dosaku dan apakah
pahalamu pada awal kejadian sehingga aku berpakaian kulit anjing dan
engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja diantara para mistik?’.
Begitulah yang sampai dalam pikiranku dan karena itulah aku memberi
jalan kepadanya”.
Ada
seorang pertapa di antara tokoh suci terkenal di Bustham yang mempunyai
banyak pengikut dan pengagum, tetapi ia sendiri senantiasa mengikuti
pelajaran yang diberikan oleh Abu Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan
ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat beliau. Pada
suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid, “pada hari ini genap tiga
puluh tahun lamanya aku berpuasa dan memanjatkan do’a sepanjang malam
sehingga aku tidak pernah tidur. Namun pengetahuan yang engkau sampaikan
ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau demikian aku percaya kepada
pengetahuan itu dan senang mendengarkan ceramah-ceramahmu”. “Walaupun
engkau berpuasa siang malam selama tiga ratus tahun, sedikitpun dari
ceramahku ini tidak akan dapat engkau hayati”. “Mengapa demikian ?”,
tanya si murid. “Karena matamu tertutup oleh dirimu sendiri”, jawab Abu
Yazid. “Apakah yang harus kulakukan ?”, tanya si murid pula. “Jika
kukatakan, pasti engkau tidak mau menerimanya”, jawab Abu Yazid. “Akan
kuterima !. Katakanlah kepadaku agar kulakukan seperti yang engkau
petuahkan”. “Baiklah!”, jawab Abu Yazid. “Sekarang ini juga, cukurlah
janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan dan
gantilah dengan cawat yang terbuat dari bulu domba. Gantungkan sebungkus
kacang dilehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan
anak-anak sebanyak mungkin dan katakan pada mereka,”Akan kuberikan
sebutir kacang kepada setiap orang yang menampar kepalaku”. Dengan cara
yang sama pergilah berkeliling kota, terutama sekali ke tempat dimana
orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan”. “Maha
besar Allah! Tiada Tuhan kecuali Allah”, cetus si murid setelah
mendengar kata-kata Abu Yazid itu. “Jika seorang kafir mengucapkan
kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim”, kata Abu Yazid.
“Tetapi dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah
mempersekutukan Allah”. “Mengapa begitu ?”, tanya si murid. “Karena
engkau merasa bahwa dirimu terlalu mulia untuk berbuat seperti yang
telah kukatakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan kata-kata tadi untuk
menunjukkan bahwa engkau adalah seorang penting, dan bukan untuk
memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan
Allah ?”. “Saran-saranmu tadi tidak dapat kulaksanakan. Berikanlah
saran-saran yang lain”, si murid keberatan. “Hanya itu yang dapat
kusarankan”, Abu Yazid menegaskan. “Aku tak sanggup melaksanakannya”, si
murid mengulangi kata-katanya. “Bukankah telah aku katakan bahwa engkau
tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti
kata-kataku”, kata Abu Yazid. (Besi mesti dipanasi untuk dijadikan
pedang, batu kotor mesti digosok supaya jadi berlian. “Gosoklah berlian
imanmu dengan Laa illaha ilAllah”. ‘Jadidu Imanakum bi Laa illaha
ilAllah’).
“Engkau
dapat berjalan di atas air”, orang-orang berkata kepada Abu Yazid.
“Sepotong kayupun dapat melakukan hal itu”, jawab Abu Yazid. “Engkau
dapat terbang di angkasa”. “Seekor burung pun dapat melakukan itu”.
“Engkau dapat pergi ke Ka’bah dalam satu malam”. ” Setiap orang sakti
dapat melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam”.
“Jika demikian apakah yang harus dilakukan oleh manusia-manusia sejati
?”, mereka bertanya kepada Abu Yazid. Abu Yazid menjawab, “Seorang
manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada selain Allah Swt.
Sedemikian
khusyuknya Abu Yazid dalam berbakti kepada Allah, sehingga setiap hari
apabila ditegur oleh muridnya, yang senantiasa menyertainya selama 20
tahun, ia akan bertanya,” Anakku, siapakah namamu ?” Suatu ketika si
murid berkata pada Abu Yazid,”Guru, apakah engkau memperolok-olokkanku.
Telah 20 tahun aku mengabdi kepadamu, tetapi, setiap hari engkau
menanyakan namaku”. “Anakku”, Abu Yazid menjawab,”aku tidak
memperolok-olokkanmu. Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan telah
menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama
yang lain, segeralah nama itu terlupakan olehku”.
Abu
Yazid mengisahkan : Suatu hari ketika sedang duduk-duduk, datanglah
sebuah pikiran ke dalam benakku bahwa aku adalah Syaikh dan tokoh suci
zaman ini.
Tetapi
begitu hal itu terpikirkan olehku, aku segera sadar bahwa aku telah
melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit dan berangkat ke Khurazan. Di
sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan meninggalkan
tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk membukakan hatiku.
Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu. Pada hari yang
ke-empat kulihat seseorang yang bermata satu dengan menunggang seekor
unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati dengan
seksama, terlihat olehku tanda-tanda kesadaran Ilahi di dalam dirinya.
Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu segera
menekukkan kaki-kaki depannya.
Lelaki
bermata satu itu memandangiku. “Sejauh ini engkau memanggilku”,
katanya,” hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu
yang terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu
Yazid?””Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang
itu,”Darimanakah engkau datang?” “Sejak engkau bersumpah itu telah
beribu-ribu mil yang kutempuh”, kemudian ia menambahkan,”berhati-hatilah
Abu Yazid, Jagalah hatimu!”Setelah berkata demikian ia berpaling dariku
dan meninggalkan tempat itu. Menolak mereka hanya karena keingkaran
mereka. Segala sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap
perbuatanku yang tidak berkenan kepada-Mu limpahkanlah ampunan-Mu.
Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku karena akupun telah membasuh
debu kelancangan karena mengaku telah mematuhi-Mu. Kemudian Abu Yazid
menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyebut nama Allah pada tahun
261 H /874 M.
dikutip : http://sufismenews.blogspot.com
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul:
SYEKH ABU YAZID AL-BUSTHOMY
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke
https://fadhilaizki.blogspot.com/2014/09/syekh-abu-yazid-al-busthomy.html
. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar :
Posting Komentar