Syaikh Muhammad Abdul Malik bin Ilyas: Ketawadhu’an di Balik Nama Besar

Posted by Unknown Selasa, 04 November 2014 0 komentar
www.majalah-alkisah.comPurwokerto, ibu kota Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, merupakan salah satu pusat perdagangan dan pendidikan di kawasan selatan Jawa Tengah.
Dulunya, kawasan ini, yang terletak di selatan Gunung Slamet, salah satu gunung berapi yang masih aktif di Pulau Jawa, adalah tempat menyingkirnya para pengikut Pangeran Diponegoro setelah perlawanan mereka dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak aneh bila hingga masa kini masih terdapat banyak sekali keluarga yang memiliki silsilah hingga Pangeran Diponegoro dan para tokoh pengikutnya.
Kota Purwokerto begitu tenang. Ter­gambar dari suasana kotanya, yang tak terlalu padat.  Masyarakatnya juga ra­mah.
Di daerah Ledug Kedung Paruk, Ba­nyumas, terdapat makam ulama besar Syaikh Muhammad Abdul Malik bin Syaikh Muhammad Ilyas. Ia ke­turun­an Pangeran Diponegoro, ayahanda­nya ada­lah cicit  Pangeran Diponegoro.
Syaikh Muhammad Abdul Malik bin Ilyas adalah sosok ulama yang sa­ngat di­segani di Jawa Tengah. Ia dikenal se­bagai ulama yang mempunyai kepri­badi­an yang sabar, zuhud, tawadhu’, dan si­fat-sifat mulia lainnya, yang me­nunjukkan ketinggian akhlaq. Maka amat wajarlah masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan meng­hormatinya serta menjadikannya panutan.
Kehidupan Syaikh Abdul Malik sa­ngat sederhana, di samping itu ia juga sangat san­tun dan ramah kepada siapa saja. Ia juga gemar sekali melakukan silaturahim kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Pa­ruk maupun di desa-desa sekitarnya, se­perti Ledug, Pliken, Sokaraja, Dukuh Waluh, Bojong, dan lain-lain.
Hampir setiap hari Selasa pagi, de­ngan kendaraan sepeda, naik becak, atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengun­jungi murid-muridnya untuk membagi-bagi­kan beras, uang, dan terkadang pa­kai­an, sambil mengingatkan kepada me­reka untuk datang pada acara pengaji­an Selasanan, yakni forum silaturahim para pengikut Thariqah An-Naqsyaban­diyah Al-Khalidiyah Kedung Paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi de­ngan pengajian dan tawajjuhan (penga­rahan).
Syaikh Abdul Malik semasa hidup­nya adalah mursyid dua thariqah besar, yaitu Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidi­yah dan Thariqah Asy-Syadzi­liyah. Sa­nad Thariqah An-Naqsaban­diyah Al-Khalidiyah ia peroleh secara langsung dari ayahnya, yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki, Makkah.
Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama, yaitu membaca Al-Qur’an dan shalawat. Ia membaca shalawat sebanyak 16.000 kali setiap harinya dan sekali menghatam­kan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamal­kan adalah shalawat Khidhir AS, atau lebih sering disebut Shalawat Rah­mat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad”. Dan itu adalah shalawat yang sering ia ija­zahkan kepada para tamu dan murid­nya. Adapun shalawat-shalawat yang lain seperti Shalawat Al-Fatih, Al-Anwar, dan lain-lain.
Di samping dikenal memiliki hubung­an yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik juga mem­punyai hubungan yang sangat erat de­ngan ulama dan habaib yang oleh banyak orang dianggap telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Sholeh bin Muh­sin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bafaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probo­linggo), K.H. Hasan Mangli (Mage­lang), Habib Hamid Bin Yahya (Soka­raja, Ba­nyumas), dan lain-lain.
Pada suatu riwayat, diceritakan, pada saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Peka­longan untuk menghadiri sebuah haul, selesai acara haul, Habib Soleh berkata ke­pada para jama’ah, ”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum arifin di tanah Jawa.”
Tak lama kemudian, dari kerumunan orang yang menghadiri acara haul ter­sebut, datanglah Syaikh Abdul Malik, dan jama’ah pun terkejut melihatnya. Mereka tak menyangka bahwa yang dimaksud oleh Habib Soleh Tanggul adalah Syaikh Abdul Malik, orang yang begitu tawadhu’.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo). Ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya ber­sama rombongan, Habib Husein ber­kata, ”Aku harus di pintu, karena aku mau me­nyambut salah satu pembesar wali Allah.”

Lima Belas Tahun di Makkah
Syaikh Abdul Malik lahir di Ke­dung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1877).
Nama kecilnya adalah “Muhammad As’ad”, sedang nama “Abdul Malik” di­peroleh dari ayahnya, K.H. Muhammad Ilyas, ketika ia menunaikan ibadah haji bersamanya.
Syaikh Abdul Malik memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara lang­­sung dari kedua orangtuanya dan sau­dara-saudaranya yang ada di Soka­raja, Banyumas, terutama K.H. Muham­mad Affandi.
Setelah belajar Al-Qur’an kepada ayah­­nya, Abdul Malik diperintahkan un­tuk melanjutkan pendidikannya kepada Kiai Abu Bakar bin Haji Yahya Ngasinan, Ke­basen, Banyumas. Selain itu, ia juga mem­peroleh pendidikan dan pengasuh­an dari saudara-saudaranya yang ber­ada di Sokaraja,  sebelah timur Purwo­kerto. Di Sokaraja ada saudara Abdul Malik, yakni Kiai Muhammad Affandi, ulama sekaligus saudagar kaya raya. Ia memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk perjalanan menuju Tanah Suci.
Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayah­nya, pada tahun 1312 H/1895 M, ketika Syaikh Abdul Malik sudah meng­injak usia dewasa, ayahnya mengirim­nya untuk mendalami ilmu agama di Makkah.
Di Makkah, ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama, di antaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, ulumul Qur’an, hadits, fiqih, tasawuf, dan lain-lain. Asy-Syaikh belajar di Tanah Suci kurang lebih lima belas tahun.
Syaikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di antaranya dikaruniai keturun­an. Istri pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar, yang lebih dikenal dengan sebutan “Mbah Johar”. Ia se­orang wanita terpandang, putri gurunya, Kiai Abu Bakar bin H. Yahya Ke­lewedi Ngasinan, Kebasen. Istri per­tama ini ke­mudian dicerai setelah di­karuniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun).

Menolak Bencana
Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu tafsir dan ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayyid Umar Syatha’ dan Sayyid Ahmad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru kepada Sayyid Tha bin Yahya Al-Maghribi (ulama Hadhra­maut yang tinggal di Makkah), Sayyid Alwi bin Shalih bin Aqil Bin Yahya, Sayyid Muhsin Al-Musawa, Syaikh Mu­ham­­mad Mahfuzh bin Abdullah At-Tirmasi. Dalam bidang ilmu syari’ah dan Thariqah Alawiyah, ia berguru kepada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdul­lah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), dan Kiai Sholeh Darat (Semarang).
Sementara itu, guru-gurunya di Ma­di­nah adalah Sayyid Ahmad bin Muham­mad Amin Ridhwan, Sayyid Abbas bin Mu­hammad Amin Ridhwan, Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani (kakek Sayyid Mu­hammad bin Alwi Al-Maliki Al-Ha­sani), Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki, dan Sayyid Ali Ridha.
Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H/1909 M Syaikh Abdul Malik pulang ke kam­pung halaman untuk berkhidmat ke­pada kedua orangtuanya, yang saat itu sudah sepuh.
Pada tahun 1333 H/1915 M, sang ayah, Syaikh Muhammad Ilyas, ber­pulang ke rahmatullah.
Setelah ayahandanya wafat, Syaikh Abdul Malik mengembara ke ber­bagai daerah di Pulau Jawa guna me­nambah wawasan dan pengetahuan de­ngan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke-100 dari hari wafat sang ayah.
Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk, ber­sama ibun­danya, Nyai Zainab.
Sebagai pembimbing dan syaikh, ia se­ring sekali membawa jama’ah haji Indo­nesia asal Banyumas. Bekerja sama de­ngan Syaikh Mathar Makkah, aktivi­tas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.
Selama menetap di Makkah, ia me­manfaatkan waktu untuk memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan masyayikh yang ada di sana.
Berkat keluasan dan kedalaman ilmu­nya, Syaikh Abdul Malik pernah memper­oleh dua anugerah, yakni diangkat men­jadi wakil mufti Madzab Syafi’i di Makkah dan diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sen­diri sempat mem­beri­kan hadiah berupa sebuah rumah ting­gal  di sekitar Masjidil Haram, tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugerah ini di­berikan oleh pemerintah Saudi hanya ke­pada ulama yang telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.
Syaikh Ma’shum (Lasem, Rem­bang), ketika berkunjung ke Purwokerto, sering kali menyempatkan diri singgah di rumah Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan kepada­nya. Demikian pula dengan Mbah Dim­yathi (Comal, Pe­malang), K.H. Khalil (Si­rampog, Brebes), K.H. Anshori (Lingga­pura, Brebes), K.H. Nuh (Pageraji, Ba­nyumas), dan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, kerap sekali bela­jar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.
Murid-murid lain Syaikh Abdul Malik di antaranya K.H. Abdul Qadir, Kiai Sa’id, K.H. Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khali­diyah), K.H. Sahlan (Pekalongan), Drs. Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), K.H. Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Mu­hammad Luthfi bin Ali Bin Yahya (Peka­longan), K.H. Ma’shum (Purwokerto).
Diungkapkan oleh Habib Luthfi Bin Yahya, yang juga muridnya, “Karya-karya Al-Allamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kiai, ulama, maupun shalihin.”
Amalan yang ia wariskan sampai se­karang masih dibaca para pengikut thari­qahnya, yaitu Al-Miftah al-maqashid li-ahli at-tauhid fi ash-shalah ‘ala babillah al-hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-fatih li-jami’i asy-syada’id.
Shalawat itu, yang ia dapat di Madi­nah, langsung diijazahkan oleh Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwan Al-Ma­dani, ini memiliki manfaat yang sangat ba­nyak. Di antaranya, bila dibaca, pahala­nya sama seperti membaca kitab Dala’il al-Khairat seratus sepuluh kali. Juga, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka. Wallahu ‘alam bishshawab.

Tiga Pesan
Pada hari Kamis malam Jum’at, 21 Jumadil Akhir 1400 H, yang bertepatan dengan 17 April 1980 M, sekitar pukul 18.30 WIB, Syaikh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan sha­lat Isya’ dan masuk ke dalam kamar khal­watnya.
Tiga puluh menit kemudian, salah se­orang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada jawaban.
Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berpulang menghadap Ilahi, dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan.
Jenazahnya dimakamkan keesokan harinya lepas shalat Ashar, di belakang Masjid Baha’ul Haq wa Dhiya’uddin, Kedung Paruk, Purwokerto.
Sebelum meninggal, ia menitipkan tiga pesan untuk kaum muslimin:
Pertama, jangan meninggalkan sha­lat. Tegakkan shalat, sebagaimana telah dicontohkan Rasululah SAW. Lakukan shalat fardhu pada waktunya secara berjama’ah. Perbanyak shalat sunnah, serta ajarkan kepada para generasi penerus sedini mungkin.
Kedua, jangan tinggalkan membaca Al-Qur’an. Baca dan pelajari setiap hari, serta ajarkan sendiri sedini mungkin kepada anak-anak. Sebarkan Al-Qur’an, di mana pun berada. Jadikan sebagai pedoman hidup, dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati orang-orang yang hafal Al-Qur’an dan qari’-qari’ah, serta muliakan tempat-tempat pelestariannya.
Ketiga, jangan tinggalkan membaca shalawat. Baca dan amalkan setiap hari. Contoh dan teladani kehidupan Rasul­ullah SAW, serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya. Sebarkan bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan sebarluas­kan ajarannya.
Morena Cindo
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Syaikh Muhammad Abdul Malik bin Ilyas: Ketawadhu’an di Balik Nama Besar
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://fadhilaizki.blogspot.com/2014/11/syaikh-muhammad-abdul-malik-bin-ilyas.html . Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar :

Posting Komentar

Bismillah Semoga Berkah - Copyright of Kelembutan Ketuhanan .