MAULANA JALAUDDIN RUMI
Sabtu, 13 September 2014
0
komentar
Maulana
(secara harfiah bermakna “Guru Kita”) Jalaluddin Rumi, pendiri Tarekat
Para Darwis Berputar, dalam karirnya menjadi bukti ungkapan Timur, “Para
raksasa muncul dari Afghanistan dan mempengaruhi dunia.” Ia dilahirkan
di Bactria, dari sebuah keluarga bangsawan pada awal abad ketiga belas.
Ia tinggal dan mengajar di Iconum (Rum) di Asia Kecil, sebelum munculnya
Kerajaan Utsmani, yang tahtanya menurut seruannya ia tolak.
Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Persia, dan dipandang tinggi oleh
orang Persia karena kandungan puitis, kesusastraan dan mistiknya.
Sehingga karya-karya ini disebut sebagai “al-Qur’an dalam bahasa Pehlevi
(bahasa Persia)” — meskipun karya-karya ini bertentangan dengan
kepercayaan bangsa Persia, sekte Syi’ah, yang dikritik atas
eksklusivismenya.
Di
kalangan orang Muslim Arab, India dan Pakistan, Rumi dipandang sebagai
salah seorang dari guru mistik tingkat pertama — meskipun ia menyatakan
bahwa ajaran-ajaran al-Qur’an bersifat alegoris,dan ia memiliki tujuh
makna yang berbeda. Jangkauan pengaruh Rumi sulit untuk bisa
diperkirakan, meskipun hal ini terkadang bisa dilihat secara sekilas,
pada kesusastraan dan pemikiran dari berbagai madzhab. Bahkan Doktor
Johnson, yang terkenal karena pernyataannya yang tidak menyenangkan,
mengatakan tentang Rumi, “Ia menjelaskan kepada Peziarah akan
rahasia-rahasia dari jalan Kesatuan, dan menyingkap Misteri-misteri dari
jalan Kebenaran Abadi.”
Karyanya
telah cukup dikenal dalam kurun waktu kurang dari seratus tahun setelah
kematiannya pada 1273, karena Chaucer menggunakannya sebagai rujukan
sebagian karyanya, bersama-sama dengan bahan dari ajaran-ajaran guru
spiritual Rumi, Aththar sang Kimiawan (1150-1229/30). Dan berbagai
rujukan terhadap bahan bahasa Arab yang bisa ditemukan pada Chaucer,
bahkan suatu pengujian secara cepat memperlihatkan suatu pengaruh Sufi
dari Madzhab Rumi dalam literatur. Penggunaan Chaucer terhadap ungkapan
seperti, “Singa mungkin bisa mengambil pelajaran ketika seekor anjing
dihukum …,” merupakan adaptasi semata yang terkait pada kata-kata, idhtrib al-kalba wa ya’khud addaba al-fahdu
(“Pukullah anjing dan singa akan mengambil pelajaran!”), sebagai suatu
ungkapan rahasia yang digunakan oleh Para Darwis Berputar. Penafsirannya
bergantung pada suatu permainan pada kata-kata “anjing” dan “singa”.
Meskipun ditulis demikian rupa, pengucapan kata kunci tersebut
dipergunakan secara homofone. Sebagai ganti mengucapkan “anjing” (kalb), Sufi mengatakan “hati” (qalb), dan sebagai ganti kata “singa” (fahdu) adalah kata fahid
(“kelalaian”). Ungkapan tersebut sekarang menjadi, “Pukullah hati
(dengan latihan-latilian Sufi) dan kelalaian (fakultas-fakultas [jiwa])
akan bersikap (dengan benar).”
Ini
merupakan slogan yang memperkenalkan gerakan-gerakan “pemukulan hati”
yang didorong oleh gerakan dan konsentrasi pada Mevlevi — “Para Darwis
Berputar”.
Hubungan antara Canterbury Tales (Cerita-cerita Canterbury) sebagai sebuah alegori perkembangan batin dan Parliament of the Birds
dari Aththar merupakan persoalan menarik lamnya. Profesor Skeat
mengingatkan kita bahwa, seperti Aththar, Chaucer memiliki tiga puluh
pengikut. Tiga puluh Peziarah tersebut mencari burung mistik, dan nama
burung itu adalah Simurgh. Nama ini masuk akal dalam bahasa Persia, sebab Simurgh bermakna “tiga puluh burung”.
Akan
tetapi dalam bahasa Inggris pengubahan (bentuk) semacam ini tidaklah
mungkin. Jumlah peziarah tersebut, yang diperlukan dalam bahasa Persia
sebab adanya persyaratan irama, dipertahankan Chaucer, menghilangkan
makna ganda. The Pardoner’s Tale terdapat pada Aththar, cerita pohon pear ditemukan pada Kitab IV dari karya Sufinya Rumi, Matsnawi.
Pengaruh
Rumi, baik dalam gagasan maupun secara tekstual, cukup besar di Barat.
Karena semua karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat
pada tahun-tahun terakhir ini, maka dampaknya semakin besar. Tetapi jika
ia, seperti ProfesorArberry menyebutnya, “benar-benar penyair mistis
terbesar dalam sejarah manusia,” maka puisi-puisi sendiri yang di
dalamnya begitu banyak memaparkan ajaran-ajarannya, hanya benar-benar
bisa diapresiasi dalam bahasa Persia aslinya. Meskipun demikian,
ajaran-ajaran dan metode-metode yang dipergunakan oleh Para Darwis
Berputar dan madzhab-madzhab lainnya yang dipengaruhi Rumi, tidaklah
terlalu sulit ditemukan, dengan syarat bahwa cara dalam meletakkan
kebenaran-kebenaran esoterik tersebut bisa dipahami.
Ada tiga dokumen dimana melalui ini karya Rumi bisa dikaji oleh dunia luar. Kitab Matsnawi-i-Manawi
(Sajak-sajak Spiritual) merupakan karya utama Jalaluddin — terdiri dari
enam kitab (bagian) puisi dan metafora yang bentuk aslinya memiliki
kekuatan sedemikian rupa, sehingga pembacaannya bisa menghasilkan suatu
kebahagiaan (spiritual) kompleks secara aneh bagi kesadaran
pendengarnya.
Karya
ini diselesaikan dalam waktu empat puluh tiga tahun. Sebenarnya ia
tidak bisa dikritik sebagai karya puisi, sebab mengandung gagasan,
bentuk dan penyajian yang pelik dan khas. Mereka yang mencari bait
konvensional semata di dalamnya, seperti dinyatakan Profesor Nicholson,
harus membolak-balik karya tersebut secara cepat. Dan kemudian mereka
akan kehilangan pengaruh dari apa yang sesungguhnya merupakan suatu
bentuk seni khusus, yang diciptakan Rumi untuk menyampaikan makna-makna,
yang oleh Rumi sendiri diakui tidak memiliki padanan sesungguhnya dalam
pengalaman manusia biasa. Mengabaikan pencapaian luar biasa ini sama
halnya dengan memilih-milih rasa (makanan) tanpa selai strawberry.
Karena terlalu menekankan peranan puisi besar dalam lautan Matsnawi, terkadang Nicholson memperlihatkan suatu kesukaan terhadap syair formal.
“Matsnawi,” katanya (Introduction, Selection from the Diwan of Shams of Tabriz,
hlm. xxxix), “mengandung suatu kekayaan puisi yang mencerahkan. Tetapi
para pembacanya harus menempuh jalan melalui apologi, dialog dan
penafsiran-penafslran nash-nash Qur’ani, kepelikan-kepelikan metafisis
dan petuah-petuah moral secara bersamaan sebelum mereka memiliki
kesempatan menikmati suatu bagian dari kidung murni dan tinggi.”
Bagi
Sufi, jika bukan bagi siapa saja, kitab ini berbicara dari suatu
dimensi yang berbeda, bahkan suatu dimensi yang bagaimanapun berada di
dalam dirinya yang terdalam.
Seperti semua karya Sufi, Matsnawi
akan beragam pengaruhnya terhadap pendengarnya sesuai dengan
kondisi-kondisi dimana karya ini dikaji. Kitab ini memuat lelucon,
fabel, pembicaraan, rujukan kepada para mantan guru dan metode-metode
yang bisa mengantarkan pada ekstase (ecstatogenic) — suatu contoh
fenomenal dari metode pencerai-beraian, dimana sebuah gambar disusun
dengan multi-dampak untuk memasukkan pesan ke dalam pikiran Sufi.
Pesan
ini, Rumi maupun semua guru Sufi lainnya, secara parsial disusun
sebagai jawaban terhadap lingkungan di mana ia bekerja. Ia menciptakan
tarian dan gerakan-gerakan memutar di kalangan para muridnya. Menurut
riwayat, hal ini disebabkan temperamen lamban dan malas dari orang yang
diajarinya. Apa yang disebut sebagai variasi doktrin atau tindakan yang
ditetapkan oleh berbagai guru Sufi sebenarnya tidak lain merupakan
penerapan dari aturan ini.
Dalam
sistem pengajarannya, Rumi mempergunakan penjelasan dan latihan mental,
pemikiran dan meditasi, kerja dan bermain, tindakan dan diam.
Gerakan-gerakan “tubuh-pikiran” dari Para Darwis Berputar dibarengi
dengan musik tiup untuk mengiringi gerakan-gerakan tersebut, merupakan
hasil dari metode khusus yang dirancang untuk membawa seorang Salik
mencapai afinitas dengan arus mistis, untuk ditransformasikan melalui
cara ini. Segala sesuatu yang dipahami oleh orang yang belum tercerahkan
(orang biasa) memiliki kegunaan dan makna dalam konteks khusus Sufisme
yang mungkin tidak terlihat sampai hal itu dialami. “Doa,” ucap Rumi,
“memiliki bentuk, suara dan realitas fisiknya. Segala sesuatu yang
memiliki kata (nama), memiliki padanan fisiknya. Dan setiap pemikiran
memiliki suatu (bentuk) tindakan.”
Salah
satu karakteristik yang benar-benar Sufistik dari Rumi adalah bahwa,
sekalipun tentu ia akan memberikan pernyataan tegas yang paling tidak
populer — bahwa orang biasa, apa pun pencapaian formalnya, tidak dewasa
dalam mistisisme — ia juga memberikan kesempatan bagi hampir semua orang
untuk mencapai kemajuan menuju penyempurnaan nasib manusia.
Seperti
para Sufi yang berada di dalam suatu atmosfir teologis, pertama kali
Rumi menunjukkan para pendengar terhadap persoalan agama. Ia menekankan
bahwa bentuk dimana didalamnya merupakan kebiasaan dalam beragama dan
bersifat emosional yang dipahami oleh badan-badan (lembaga)
terorganisir, tidaklah benar. Tabir Cahaya, yang merupakan penghalang
yang diakibatkan oleh sikap pembenaran diri, adalah lebih berbahaya
dibanding Tabir Kegelapan, yang dihasilkan didalam pikiran oleh
kejahatan. Pemahaman hanya bisa dihasilkan dengan cinta, bukan dengan
pelatihan melalui cara-cara terorganisir.
Baginya
(Rumi), para guru tertua dari agama-agama adalah benar. Para
penerusnya, kecuali sebagian kecil, mengelola persoalan-persoalan itu
sedemikian rupa sehingga secara menyeluruh menutup kemungkinan
pencerahan. Sikap ini menuntut suatu pendekatan baru terhadap
persoalan-persoalan agama. Rumi memahami seluruh persoalan tersebut di
luar saluran normal. Ia tidak dipersiapkan untuk menyerahkan dogma pada
studi dan dalil (argumen). “Agama sejati,” tuturnya, “adalah berbeda
dari yang diduga orang. Oleh sebab itu, tidak ada nilainya untuk
mengkaji dan menguji dogma.” “Di dunia ini,” ucapnya, “tidak ada padanan
dari hal-hal yang disebut sebagai Arasy (Tuhan), Kitab,
Malaikat, Hari Hisab. Perumpamaan digunakan, dan semua itu secara pasti
sekadar suatu gagasan kasar tentang sesuatu yang lain.”
Dalam kumpulan ucapan dan ajarannya yang berjudul Fihi Ma Fihi
(Di Dalamnya adalah Apa yang Ada di Dalamnya), yang digunakan sebagai
buku-buku rujukan para Sufi, ia bahkan melangkah lebih jauh. “Manusia,”
tuturnya, “melewati tiga jenjang. Pada jenjang pertama, ia menyembah apa
saja –manusia, perempuan, uang, anak-anak, bumi/tanah dan batu.
Kemudian, ketika sedikit lebih maju, ia menyembah Tuhan. Pada akhirnya,
ia tidak berkata, ‘Aku menyembah Tuhan,’ maupun, ‘Aku tidak menyembah
Tuhan.’ Ia telah melewati tahapan ketiga.”
Untuk mendekati jalan Sufi, sang Salik
harus menyadari bahwa dirinya, sebagian besar merupakan serangkaian
dari apa yang saat ini disebut pengkondisian — gagasan-gagasan kaku dan
prasangka, kadang-kadang respon otomatis yang telah terjadi melalui
pelatihan orang lain. Manusia tidaklah sebebas yang diduga. Tahapan
pertama bagi seseorang adalah untuk melepaskan diri dari pemikiran bahwa
dirinya mengerti dan benar-benar mengerti. Tetapi manusia telah diajar,
bahwa dirinya bisa memahami melalui proses yang sama, yaitu proses
logika. Ajaran ini telah melemahkannya.
Pemahaman
agama, dan hal-hal yang telah diajarkan oleh para tokoh agama besar,
merupakan bagian dari Sufisme. Sufisme menggunakan terminologi dari
agama biasa, tetapi dengan cara khas yang selalu menyulut kemarahan dari
penganut nominalnya. Secara umum, bagi Sufi, masing-masing guru
keagamaan menyimbolkan, dalam ibadahnya dan terutama dalam kehidupannya,
suatu aspek dari jalan yang totalitasnya adalah Sufisme. “Yesus ada
dalam dirimu,” ucap Rumi; “carilah pertolongannya. Dan kemudian, jangan
mencari dari dalam dirimu sendiri, dari Musamu, kebutuhan bagi seorang
Fir’aun.”
Jalan-jalan
keagamaan yang dirintis Sufi itu dinyatakan oleh Rumi ketika ia
mengatakan bahwa jalan Yesus adalah perjuangan dengan kesunyian dan
mengatasi nafsu. Jalan Muhammad adalah hidup di dalam masyarakat sebagai
manusia biasa. “Pergilah dengan jalan Muhammad!” tuturnya, “tetapi jika
engkau tidak mampu, maka pergilah dengan jalan Kristiani!” Di sini Rumi
bukan berarti menyeru pendengarnya untuk memeluk salah satu dari agama
ini. Ia sesungguhnya menunjukkan jalan-jalan di mana di dalamnya sang Salik bisa menemukan pencerahan melalui pemahaman. Sufi menghargai terhadap jalan-jalan yang dikandung, pada Yesus dan Muhammad.
Demikian
juga, ketika Sufi berbicara tentang Tuhan, ia tidak memaksudkan
ketuhanan dalam pengertian sebagaimana dipahami oleh seorang yang telah
dilatih oleh teolog. Tuhan (dalam pengertian teologis) ini diterima oleh
sebagian orang, yakni orang yang saleh; ditolak oleh yang lain, yakni
para atheis. Bahkan ia merupakan suatu penolakan, atau penerimaan
terhadap sesuatu yang telah diberikan oleh kalangan skolastik dan
kependetaan. Tuhan para Sufi tidak dilihat dalam kontroversi ini; sebab
bagi Sufi, Tuhan merupakan persoalan pengalaman pribadi.
Semua
ini tidak berarti bahwa seorang Sufi berusaha membuang pelatihan
fakultas penalaran. Rumi menjelaskan bahwa akal adalah esensial, tetapi
ia memiliki tempatnya tersendiri. “jika engkau ingin membuat baju,
kunjungilah penjahit, maka akal akan mengatakan kepadamu penjahit mana
yang dipilih. Akan tetapi, setelah itu akal harus menahan diri. Engkau
harus memberikan kepercayaan penuh kepada penjahit bahwa akan
menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan benar.” “Logika,” kata Rumi,
“membawa seorang pasien ke dokter. Setelah itu, secara utuh ia berada di
tangan sang dokter.”
Tetapi
seorang materialis yang terlatih baik, meskipun ia mengaku bahwa
dirinya ingin mendengar apa yang bisa dikatakan seorang mistikus
kepadanya, tidak bisa diberitahu semua kebenaran. Ia tidak akan
mempercayainya. Kebenaran tidak didasarkan materialisime lebih daripada
logika. Disinilah mistiskus bekerja dengan serangkaian ranah yang
berbeda, sementara seorang materialis hanya pada satu ranah. Akibat dari
hubungan mereka pastilah bahwa Sufi bahkan akan tampak tidak konsisten
dalam pandangan materialis. Jika pada hari ini ia mengatakan sesuatu
yang dikatakannya secara berbeda dengan hari kemarin, ia akan tampak
sebagai pembohong. Paling tidak, situasi yang berada pada tujuan-tujuan
yang berseberangan akan merusak setiap kesempatan untuk maju dengan
sikap saling memahami.
“Mereka
yang tidak memahami suatu hal,” ucap Rumi, “akan mengatakan bahwa hal
itu tidak berguna. Tangan dan alat adalah bagaikan batu dan baja.
Pukullah batu dengan tanah. Apakah percikan api akan terjadi?” Salah
satu alasan mengapa Sufi tidak mengajar secara umum adalah karena
agamawan yang telah terkondisikan, atau seorang materialis, tidak akan
memahaminya:
Seekor
burung rajawali raja bertengger di sebuah reruntuhan bangunan yang
dihuni oleh burung-burung hantu. Mereka berpendapat bahwa rajawali itu
datang untuk mengusir mereka dari rumahnya dan untuk ditempatinya
sendiri. “Reruntuhan ini tampak mewah bagi kalian. Bagiku, tempat yang
lebih baik adalah di tangan Raja,” tutur si rajawali. Sebagian burung
hantu tersebut berteriak, “Jangan mempercayainya. Ia menggunakan tipuan
untuk mengambil rumah kita!”
Penggunaan dongeng dan ilustrasi seperti fabel di atas sangat luas di kalangan para Sufi, dan Rumi dikenal sebagai pakarnya.
Pemikirannya
yang sama seringkali disampaikan oleh Rumi dalam banyak bentuk, agar
bisa dipahami pikiran. Para Sufi mengatakan bahwa suatu idea akan
memasuki pikiran yang terkondisikan (tertabiri) hanya jika ia disusun
begitu baik sehingga mampu melewati dinding kondisional. Kenyataan bahwa
non-Sufi sangat sedikit memiliki kesamaan dengan Sufi itu berdasar pada
yang ada dalam setiap diri manusia, dan yang tidak seluruhnya bisa
dimatikan oleh bentuk pengondislan apa pun. Unsur-unsur inilah yang
mendasari perkembangan Sufi. Salah satu unsur dasar dan permanen adalah
unsur cinta. Cinta merupakan faktor yang akan membawa seseorang dan
semua orang, pada pencerahan:
“Panasnya
ruang pembakaran mungkin terlalu berat bagimu untuk bisa mengambil
manfaat dari pengaruh panasnya; sementara nyala api yang lebih lemah
dari sebuah lampu bisa memberikan tingkatan panas yang engkau butuhkan.”
Setiap
orang, ketika mencapai jenjang tertentu karena kemampuan yang
semata-mata bersifat personal, mengira bahwa ia bisa menemukan jalan
menuju pencerahan melalui dirinya sendiri. Anggapan ini ditolak oleh
para Sufi, sebab mereka mempertanyakan bagaimana seseorang bisa
menemukan sesuatu sementara ia tidak tahu apa sebenarnya sesuatu
tersebut. “Setiap orang menjadi pencari emas,” ucap Rumi, “tetapi orang
awam tidak mengetahuinya ketika ia melihatnya. Jika Anda tidak bisa
mengenalinya, bergabunglah dengan orang bijak.”
Orang
awam, karena mengira ia berada di jalan pencerahan, seringkali hanya
melihat pantulannya. Sinar mungkin bisa dipantulkan ke dinding; dinding
tersebut merupakan tempat bagi sinar. “Jangan tempelkan dirimu ke
batu-bata dari dinding itu, tetapi carilah (cahaya) asli yang abadi!”
“Air membutuhkan suatu perantara, sebuah tungku, antara tungku dan api itulah air dipanaskan dengan benar.”
Bagaimana cara seorang Salik
menemukan tugasnya dalam mencari jalan yang benar? Pertama, ia tidak
boleh mengabaikan kerja dan harus tetap “hidup” di dunia. “Jangan
menyerah dan berhenti kerja!” perintah Rumi. Sungguh, “Khazanah yang
engkau cari berasal darinya.” Ini merupakan satu alasan mengapa semua
Sufi harus memiliki sebuah kegiatan konstruktif Meskipun demikian, kerja
bukan saja kerja biasa atau bahkan kreativitas yang bisa diterima
secara sosial. Ia meliputi kerja-diri; alkimia menjadikan
seseorang berkepribadian sempurna: “Wool di tangan seorang yang
berpengetahuan, menjadi permadani. Tanah menjadi istana. Kehadiran
manusia spiritual menciptakan perubahan serupa.”
Pada
awalnya seorang yang bijak merupakan pembimbing seorang murid. Segera
setelah memungkinkan, guru ini melepaskan si murid, sebagai orang yang
memperoleh hikmahnya sendiri, dan kemudian ia melanjutkan kerja-dirinya.
Para guru palsu dalam Sufisme, sebagaimana di mana saja, tidaklah
sedikit. Maka para Sufi dihadapkan pada situasi aneh, sebab sementara
guru palsu bisa jadi tampak seperti asli (karena ia berusaha keras untuk
berpenampilan seperti yang diinginkan muridnya), sedangkan Sufi sejati
seringkali tidak seperti apa yang dikira oleh Salik yang belum terlatih dan belum bisa membedakan.
Rumi
mengingatkan, “Jangan menilai seorang Sufi sebagai seseorang yang bisa
dilihat, sobat. Berapa lama, seperti seorang anak kecil, engkau hanya
lebih menyukai kacang dan roti?”
Guru
palsu sangat memperhatikan penampilan, dan mengetahui bagaimana membuat
seorang murid mengira bahwa ia adalah orang besar, bahwa ia
memahaminya, bahwa dirinya memiliki rahasia-rahasia besar yang akan
diungkap. Seorang Sufi memiliki banyak rahasia, tetapi ia harus
menjadikan rahasia-rahasia tersebut berkembang dalam diri murid. Sufisme
merupakan sesuatu yang diberikan kepadanya. Guru palsu akan menjaga
para pengikutnya agar tidak menjauh dari dirinya untuk selamanya, tidak
mengatakan kepada mereka, bahwa mereka tengah diberikan latihan yang
harus berakhir secepat mungkin, sehingga mereka bisa merasakan
perkembangan mereka sendiri dan melanjutkan hidup sebagai orang-orang
yang tercerahkan.
Rumi
menyeru kepada para skolastik, teolog dan pengikut guru palsu, “Kapan
kalian berhenti menyembah dan mencintai timbanya? Kapan kaki mulai
mencari airnya?” Hal-hal lahiriah merupakan sesuatu yang biasanya
dinilai oleh kebanyakan orang. “Ketahuilah perbedaan antara warna anggur
dan warna gelasnya.”
Sufi
harus mengikuti semua rutinitas pengembangan-diri; sebaliknya
semata-mata konsentrasi terhadap salah satunya akan menyebabkan
ketimpangan, yang bisa membawa pada kerugian. Laju pengembangan setiap
orang berbeda-beda. “Sebagian,” ucap Rumi, “memahami semuanya hanya
dengan membaca sebuah baris (ajaran). Yang lain, yang benar-benar telah
hadir pada suatu peristiwa, mengetahui semua tentang hal itu. Kemampuan
pemahaman berkembang bersama kemajuan spiritual seseorang.”
Meditasi-meditasi Rumi meliputi beberapa gagasan yang mencolok, yang dirancang untuk membawa Salik
ke dalam suatu pemahaman tentang kenyataan bahwa secara temporer ia
berada di luar hubungan dengan realitas utuh, meskipun kehidupan biasa
tampak sebagai totalitas dari realitas itu sendiri. Apa yang kita lihat,
apa yang kita rasakan dan alami dalam kehidupan wajar dan belum
tercerahkan, menurut pemikiran Sufistik, hanyalah sebagian dari
keseluruhan yang besar. Ada dimensi-dimensi yang hanya bisa dicapai
melalui upaya keras. Seperti bagian gunung es yang tampak di permukaan,
keseluruhan badan gunung itu ada di sana, meskipun tidak terlihat di
bawah kondisi-kondisi wajar. Jika seperti gunung es realitas tersebut
jauh lebih besar dari yang biasa diduga oleh pengamatan superfisial.
Rumi
mempergunakan berbagai analogi untuk menjelaskan hal ini. Salah satu
paling mengejutkan adalah teorinya tentang tindakan. Katanya, ada
sesuatu yang disebut sebagai tindakan komprehensif, dan juga ada
tindakan individual. Kita terbiasa melihat, dalam indera dunia biasa,
semata tindakan individu. Semisal, sejumlah orang sedang membuat sebuah
tenda. Sebagian menjahit, yang lain mempersiapkan tali, sebagian lagi
menenun. Mereka semua ikut ambil bagian dalam suatu tindakan
komprehensif, meskipun masing-masing tampak sebagai tindakan individual.
Jika kita berpikir tentang pembuatan tenda, hal itu adalah tindakan
komprehensif dari keseluruhan kelompok, dimana itulah yang penting.
Dalam
arah-arah tertentu, para Sufi menyatakan, kehidupan harus dipandang
sebagai keseluruhan, demikian juga secara individual. Hal ini sesuai
dengan keseluruhan rencana, tindakan komprehensif dalam kehidupan,
sangatlah mendasar bagi pencerahan.
Sedikit
demi sedikit, di saat pengalamannya meningkat, Sufi mulai membentuk
kembali pemikirannya selaras dengan garis ini. Sebelum ia benar-benar
memiliki pengalaman mistisisme, ia adalah seorang yang lugu, tidak
terlibat, atau memiliki suatu idea yang secara menyeluruh khayali
tentang sifat dasar pengalaman tersebut, terutama tentang Guru dan jalan
(Tarekat). Rumi memberikan kepadanya meditasi-meditasi yang dirancang
untuk mengatasi perkembangan berlebihan dari idea-idea tertentu yang
mengalir deras di kalangan orang yang belum memperoleh pengajaran
(Sufistik). Manusia mengharap diberi sebuah kunci emas. Tetapi sebagian
lebih cepat berkembang dari yang lain. Seorang yang bepergian melewati
kegelapan itu masih bisa disebut sedang bepergian. Sang murid akan
belajar (sesuatu) ketika ia tidak mengetahui bahwa dirinya tengah
belajar, dan sebagai hasilnya ia mungkin akan terlumuri (pengetahuan).
Di musim dingin, Rumi mengingatkan, sebuah pohon tengah mengumpulkan
makanan. Orang mungkin mengira bahwa pohon tersebut bermalas-malasan,
sebab mereka tidak melihat sesuatu yang terjadi. Tetapi di musim semi
mereka melihat untaian-untaian bunga. Sekarang, pikirnya, ia tengah
bekerja. Ada waktunya untuk mengumpulkan dan ada waktunya untuk
mengeluarkannya. Hal ini membawa subyek kembali pada ajaran: “Pencerahan
harus datang sedikit demi sedikit — jika tidak, tak terbendung”.
Sarana-sarana
skolastisisme, yang digunakan sebagai latihan bagi para Sufi,
digantikan oleh pelatihan esoterik, dan hal ini harus dilakukan sesuai
dengan kapasitas murid. Alat-alat pandai besi, ucap Rumi, “di tangan
tukang tambal sepatu adalah seperti benih yang ditabur ke dalam pasir.
Dan alat-alat tukang tambal sepatu di tangan petani adalah seperti
jerami yang ditawarkan kepada anjing, atau tulang yang diberikan pada
keledai.”
Sikap
terhadap konvensi-konvensi biasa dalam kehidupan mengalami suatu
pengujian. Persoalan jeritan batin manusia dipandang, bukan seperti
sebuah kebutuhan Freudian, tetapi sebagai sesuatu instrumen alamiah yang
melekat pada pikiran untuk memungkinkannya mencapai kebenaran. Rumi
mengajarkan bahwa manusia sebenarnya tidak mengetahui apa yang mereka
inginkan. Jeritan batinnya dinyatakan dalam ratusan keinginan yang
mereka duga sebagai kebutuhan mereka. Namun hal ini bukanlah hasrat
mereka sesungguhnya, sebagaimana pengalaman memperlihatkan. Karena
ketika tujuan-tujuan ini tercapai, jeritan tersebut tidak berhenti. Rumi
pastilah melihat Freud sebagai seorang yang terobsesi oleh salah satu
perwujudan sekunder dari jeritan besar tersebut; bukan sebagai seorang
yang telah menemukan dasar jeritan itu.
Demikian
juga, orang-orang tampak jahat dalam pandangan seseorang — tetapi bagi
lainnya mereka mungkin terlihat baik. Hal ini disebabkan dalam satu
pikiran terdapat idea ketidakpuasan, sementara pada lainnya terdapat
pandangan kebaikan. “Ikan dan kail kedua-duanya sama-sama hadir.”
Sufi
mempelajari kekuatan pelepasan-diri, kemudian diikuti kekuatan
mengalami apa yang ia pertimbangkan, tidak sekadar melihatnya. Untuk
melakukan hal ini, ia diperintahkan gurunya untuk merenungkan peringatan
Rumi, “Orang yang kenyang dan kelaparan tidak melihat hal yang sama
ketika kedua-duanya melihat sepotong roti.”
Jika
seseorang sangat tidak terlatih sehingga ia dipengaruhi oleh
kebiasaannya sendiri, ia tidak bisa berharap untuk bisa mempunyai banyak
kemampuan. Rumi memusatkan pada kontrol pengembangan; kontrol melalui
pengalaman, bukan semata-mata melalui teori tentang yang baik dan buruk,
benar atau salah. Teori ini masuk dalam kategori kata-kata, “Kata-kata,
dalam dirinya sendiri, tidaklah penting. Anda memperlakukan seorang
tamu dengan baik, dan berbicara beberapa patah kata yang lembut
kepadanya, karenanya ia bahagia. Tetapi jika Anda memperlakukan orang
lain dengan menggunakan beberapa patah kata dengan kasar, ia akan merasa
sakit. Bisakah beberapa patah kata tersebut bermakna kebahagiaan atau
kesedihan? Ini merupakan faktor-faktor sekunder, dan bukan faktor
sesungguhnya. Kata-kata mempengaruhi orang yang lemah.”
Murid
Sufi berkembang melalui berbagai latihan dalam melihat segala hal
dengan cara pandang baru. Ia juga berbuat, bertindak dengan cara berbeda
dalam suatu situasi tertentu daripada yang seharusnya ia lakukan. Ia
memahami makna yang lebih mendalam karena anjuran-anjuran sebagai
berikut, “Ambillah mutiaranya, bukan kulitnya! Engkau tidak akan
menemukan sebuah mutiara di setiap kulit. Sesosok gunung jauh lebih
besar dari sesosok batu mirah.” Apa yang tampak lazim bagi orang pada
umumnya, mungkin berlalu di atas dasar sebuah kebijakan dan dipandang
sebagai biasa, secara mendalam menjadi penuh makna bagi Sufi yang dalam
intensitasnya menemukan hubungan dengan sesuatu yang disebutnya sebagai
“yang lain” — faktor dasar yang sedang dicarinya. “Apa yang tampak
sebuah batu bagi orang biasa,” lanjut Jalaluddin Rumi, “adalah mutiara
bagi sang Alim.”
Kini kehalusan pengalaman spiritual tampak sekilas bagi sang Salik.
Jika ia seorang pekerja kreatif, ia memasuki jenjang itu ketika
inspirasi kadangkala masuk ke dalam dirinya, tetapi tidak pada waktu
yang lain. Jika ia rentan terhadap pengalaman ekstatik, akan menemukan
bahwa perasaan penuh makna yang membahagiakan dalam keutuhan itu datang
secara singkat sehingga ia tidak mampu mengendalikannya. Rahasia
melindungi dirinya sendiri. “Pusatkan perhatian pada spiritualitas
seperti yang engkau inginkan –ia akan membutakan dirimu jika engkau
tidakmampu melihatnya. Tulislah hal ini, bicarakan dan ulaslah — ia akan
gagal untuk memberikan manfaat kepadamu: ia akan terbang. Namun, jika
rahasia itu menyentuh pusat pikiranmu, ia mungkin datang ke tanganmu,
seperti seekor burung yang jinak. Layaknya burung merak, ia tidak akan
hinggap di tempat yang tidak layak.”
Hanya
ketika telah melampaui jenjang perkembangan inilah, seorang Sufi bisa
menyampaikan sesuatu tentang jalan itu kepada orang lain. Jika ia
mencobanya sebelum melampaui jenjang tersebut, “Ia akan lenyap”.
Di
sini juga letak arti penting suatu keseimbangan halus antara
(keadaan-keadaan) ekstrim yang sangat mendasar itu, atau keseluruhan
upaya itu akan sia-sia. “Pikiran Anda sebagai jaring itu begitu halus,”
tutur Rumi. Ia harus disesuaikan dengan tepat agar bisa menangkap
sasarannya. Jika ada kesedihan, jaring itu terkoyak. Jika terkoyak, ia
tidak berguna. Karena cinta yang terlalu besar, begitu pula karena
penentangan yang terlalu besar, jaring itu terkoyak. “Jangan lakukan
keduanya!”
Lima
indera batin mulai berfungsi jika kehidupan batin individu
dibangkitkan. Makanan batiniah yang dibicarakan oleh Rumi itu mulai
mempengaruhinya. Indera-indera batin bagaimanapun menyerupai
indera-indera lahiriah, tetapi “perbandingan indera batin dengan indera
lahiriah seperti emas dan tembaga”.
Karena
setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda, para Sufi pada
jenjang ini mengembangkan dengan cara-cara tertentu. Adalah biasa bagi
sejumlah fakultas batin dan berbagai kemampuan khusus untuk berkembang
secara bersamaan dan harmonis. Berbagai perubahan kepekaan batin itu
mungkin terjadi, tetapi perubahan itu sama sekali berbeda dengan
perubahan batin dari orang-orang yang belum berkembang menuju
kepribadian sejati. Kekasaran batin orang-orang awam ini digantikan oleh
perubahan dan interaksi dari cita rasa yang lebih tinggi, dimana cita
rasa yang lebih rendah dipandang sebagai refleksi semata.
Konsepsi
Sufi tentang hikmah dan kebodohan mengalami suatu perubahan. Rumi
memahaminya sebagai berikut, “Jika seseorang benar-benar bijaksana dan
tidak memiliki kebodohan, ia akan dihancurkan oleh kebijaksanaannya
sendiri. Oleh karena itu, kebodohan bisa dihargai, sebab ia berarti bagi
kelangsungan eksistensi. Kebodohan dalam perubahan ini merupakan
kolaborator hikmah, sebagaimana malam dan siang saling melengkapi.”
Bekerjanya
hal-hal yang bertentangan secara bersamaan merupakan tema penting lain
dalam Sufisme. Ketika pertentangan nyata bisa didamaikan, individualitas
bukan saja utuh, ia juga bisa melampaui ikatan-ikatan manusia awam
sebagaimana kita memahaminya. Individu itu, selama kita bisa
menyatakannya sedekat mungkin, sangatlah kuat. Apa makna pernyataan ini
dan bagaimana terjadinya adalah persoalan-persoalan dari pengalaman
pribadi, di luar dunia penulisan semata. Rumi mengingatkan kita pada
lain tempat, dalam ucapannya yang tertulis dengan kata-kata: “Kitab sang
Sufi bukanlah huruf-huruf yang kelam, kitabnya seputih kalbu.”
Sekarang
sang Sufi mempunyai pandangan batin tertentu yang terkait dengan
perkembangan suatu intuisi yang selalu benar. Perasaannya terhadap
pengetahuan sedemikian rupa, sehingga dengan membaca sebuah kitab, ia
bisa membedakan fakta dan fiksi, tujuan sejati penulisnya dari
unsur-unsur lainnya. Kalangan yang secara khusus terancam oleh kemampuan
ini adalah para peniru yang mengaku sebagai Sufi. Sementara orang yang
mempunyai intuisi itu akan mempunyai kemampuan tembus pandang. Bahkan
pengertiannya tentang keseimbangan memperlihatkan kepadanya betapa jauh
si peniru itu dari tujuan Sufisme. Rumi mengulas fungsi ini dalam Matsnawi.
Ajaran ini secara setia disampaikan pula oleh para guru Sufi ketika
mereka menemukan bahwa murid telah mencapai jenjang ini: “Peniru itu
seperti penyalur. Ia sendiri tidak minum, tetapi ia mungkin bisa
memindahkan air kepada orang yang kehausan.”
Karena
telah mengalami kemajuan di jalan itu, Sufi menyadari betapa rumit dan
berbahayanya jalan itu jika tidak dijalankan sesuai dengan metode yang
telah dikembangkan selama berabad-abad. Dengan menggunakan fabel, Matsnawi
mencatat jenjang dari pengalaman ini. Seekor singa memasuki sebuah
kandang, memangsa seekor sapi yang tinggal di dalam kandang itu, lalu ia
duduk ditempat si sapi. Kandang itu gelap, si pemilik sapi masuk dan
mencari-cari sapinya. Tangannya meraba-raba tubuh singa itu. Si singa
berkata dalam hati, “Jika ada cahaya, pastilah ia akan mati ketakutan.
Ia menyentuhku hanya karena menduga bahwa aku adalah sapinya.” Jika
fabel ini dibaca sebagai cerita biasa, penggambarannya yang singkat dan
menarik ini mungkin dipahami sebagai sejenis orang bodoh yang
terburu-buru masuk ke tempat di mana para malaikat sendiri takut
merambahnya.
Pemahaman
terhadap makna sejati di balik berbagai peristiwa duniawi yang tidak
bisa dijelaskan secara nalar itu merupakan konsekuensi lain dari
perkembangan Sufi. Sebagai contoh, mengapa tahapan tertentu dalam studi
mistis menuntut seseorang lebih lama dari lainnya, meskipun ia
sebenarnya melaksanakan rutinitas yang sama? Rumi menggambarkan
pengalaman dan satu dimensi khusus dalam kehidupan yang menutupi fungsi
aktualitas secara utuh dan memberikan suatu pandangan yang tidak
memuaskan kita dari keseluruhan itu. “Dua pengemis,” katanya,
“mendatangi sebuah rumah. Salah satunya segera merasa puas setelah
diberi sepotong roti. Ia pun pergi. Sementara pengemis kedua tetap
menunggu bagiannya. Mengapa? Pengemis pertama itu tidak disukai, ia
diberi roti basi dan hambar. Pengemis kedua diminta menunggu sampai
sepotong roti segar selesai dimasak untuknya.” Cerita ini menggambarkan
suatu tema yang terjadi berulangkali dalam ajaran Sufi, bahwa seringkali
ada satu unsur dalam sebuah peristiwa yang tidak bisa diketahui.
Akibatnya kita mendasarkan pendapat kita pada bahan yang tidak utuh.
Adalah keajaiban kecil jika orang yang belum tercerahkan mengembangkan
dan memberikan suatu “pandangan kilas” yang berlangsung dengan
sendirinya.
“Engkau
dikuasai oleh dunia dimensi,” senandung Rumi dalam sebuah syairnya,
“tetapi engkau berasal dari dunia non-dimensi. Tutuplah yang pertama dan
bukalah yang kedua!”
Seluruh kehidupan dan setiap ciptaan dipandang dalam suatu bentuk baru dan komprehensif Dengan menggunakan metafor Matsnawi,
pekerja “tersembunyi di dalam ruang kerjanya”, bersembunyi dalam
kerjanya untuk merenda jaring-jaring dirinya. Ruang kerjanya adalah
tempat pandangannya. Di luar tempat ini adalah kegelapan.
Posisi
Sufi sebagai orang yang mempunyai pandangan batin lebih dalam tentang
persoalan-persoalan dunia dan keseluruhan serta saling bertentangan,
merupakan potensi kekuatan diri yang sangat besar. Tetapi ia hanya bisa
melakukan hal ini dalam hubungannya dengan seluruh makhluk — pertama
dengan sesama Sufi, kemudian dengan manusia secara umum dan akhirnya
dengan semua makhluk. Kekuatan dan keberadaannya berkaitan dengan
serangkaian hubungan baru. Orang-orang datang kepadanya dan ia menyadari
bahwa bahkan mereka yang ingin mencemoohkan dirinya sangat mungkin
datang untuk belajar sesuatu daripada sekadar menilai dirinya. Ia
memandang sejumlah besar peristiwa sebagai suatu jenis pertanyaan dan
jawaban. Suatu kunjungan kepada seorang yang Tercerahkan dipandangnya
sebagai pendekatan, “Ajarilah aku!” Betapapun laparnya suatu pertanyaan,
tetap saja sebuah pertanyaan. “Kirimkan makanan!” Mencegah diri untuk
tidak makan merupakan jawaban, suatu jawaban negatif. Sebagaimana Rumi
menyimpulkan bagian ini, jawaban untuk seseorang yang bodoh adalah diam.
Ia
mampu memberikan sebagian pengalaman mistiknya kepada orang-orang
tertentu, sebagian muridnya dan orang yang dituntun oleh pengalaman masa
lalu mereka untuk perkembangan semacam itu. Hal ini terkadang dilakukan
melalui latihan-latihan konsentrasi dan prakteknya mungkin berkembang
ke dalam pengalaman mistik yang sesungguhnya. Rumi berkata kepada para
muridnya, “Pada mulanya pencerahan datang kepadamu dari orang-orang yang
Tercerahkan. Ini adalah suatu tiruan. Namun ketika hal itu datang
berulang kali, ini adalah pengalaman tentang kebenaran.” Selama tahap
pencariannya, seorang Sufi mungkin sering terlihat tidak memperdulikan
perasaan orang lain, atau berada di luar aktivitas masyarakat. Jika
demikian, hal ini karena ia telah melihat karakter sejati dari suatu
situasi, di balik situasi lahiriah yang hanya terlihat secara parsial
bagi orang lain. Ia berbuat dengan cara sebaik mungkin, meskipun tidak
selalu mengetahui mengapa ia mengatakan atau melakukan sesuatu.
Dalam Fihi Ma Fihi,
Rumi memberikan ilustrasi tentang situasi itu. Seorang pemabuk melihat
seorang Raja lewat dengan menunggang kuda yang sangat mahal harganya. Ia
mencemooh kuda itu. Sang Raja marah dan memanggilnya untuk menghadap
kepadanya. Orang itu menjelaskan, “Saat itu seorang pemabuk sedang
berdiri di atas atap. Aku sekarang bukan dia, sebab dia telah pergi.”
Sang Raja puas dengan jawaban ini dan memberikan hadiah kepadanya.
Pemabuk itu adalah sang Sufi dan orang yang sadar itu juga adalah
dirinya. Dalam hubungannya dengan realitas sejati, sang Sufi telah
bertindak dengan cara tertentu. Akibatnya ia diberi hadiah. Ia juga
melaksanakan suatu fungsi ketika menjelaskan kepada Raja bahwa orang
tidak selalu bertanggung jawab atas berbagai tindakannya. Ia juga telah
memberikan kesempatan kepada Raja untuk melakukan perbuatan baik.
Tidak
ada anggur yang matang menjadi mentah kembali. Evolusi manusia tidak
dapat dihentikan. Meskipun demikian evolusi ini bisa diarahkan dan
dicampuradukkan oleh mereka yang tidak mengetahui apa sesungguhnya
intuisi itu. Dengan demikian ajaran-ajaran Sufisme bisa diselewengkan
dan seorang yang telah Tercerahkan juga bisa dihubungi jika ia
membiarkan dirinya terlalu sering terlihat secara terbuka oleh orang
kebanyakan. Sebab untuk mengajarkan masalah Sufistik kepada orang luar,
seperti guru Sufi lainnya, Rumi selalu menyerukan:
- Ketika lentera batin permata masih menyala,
- Potonglah segera sumbu atasnya dan berilah minyak.
Namun
ia sepakat dengan para guru lainnya yang menolak untuk membicarakan
mistik kepada setiap orang, “Panggillah kuda-kuda ke tempat yang tidak
berumput, mereka pun akan mempertanyakannya.” — tidak menjadi soal apa
pertanyaannya itu.
Para
Sufi menentang kalangan intelektual murni dan para pemikir skolastik,
karena mereka percaya bahwa pelatihan pikiran dengan cara obsesif dan
satu jalur pemikiran semacam itu justru membahayakan pikiran. Demikian
pula, mereka sangat menentang orang-orang yang mengira bahwa semua
persoalan itu bersifat intuitif dan asketis. Padahal Rumi menekankan
keseimbangan dari semua kemampuan itu.
Kesatuan
pikiran dan intuisi yang akan melahirkan pencerahan dan perkembangan
yang dicari oleh para Sufi itu didasarkan pada Cinta — tema yang
ditekankan oleh Rumi ini tidak bisa dipaparkan secara lebih baik kecuali
melalui berbagai tulisannya sendiri, kecuali jika ia berada di dalam
dinding-dinding aktual dari sebuah madzhab Sufi. Seperti intelektualisme
yang bekerja dengan bahan-bahan yang nyata, Sufisme bekerja dengan
bahan-bahan yang terlihat dan tidak. Jika ilmu dan skolastisisme selalu
mempersempit cakupannya ke dalam bidang kajian yang semakin sempit, maka
Sufisme tetap menggunakan setiap bukti kebenaran yang melandasinya, di
mana pun hal itu bisa ditemukan.
Kekuatan
asimilasi dan kemampuan untuk membangkitkan simbolisme, cerita dan
pemikiran dari dasar arus Sufistik ini telah menyebabkan para komentator
(bahkan di Timur) merasa sangat kagum dan menjadikan masa lalu sebagai
sesuatu yang baru. Mereka menelusuri asal-usul sebuah cerita di India,
sebuah pemikiran di Yunani dan sebuah latihan spiritual di kalangan
Shaman. Unsur-unsur ini dengan senang hati mereka himpun di meja, pada
akhirnya untuk menyediakan amunisi dalam perjuangan dimana para lawannya
adalah di antara mereka sendiri. Atmosfir unik dari madzhab-madzhab
Sufi ditemukan dalam Matsnawi dan Fihi Ma Fihi. Tetapi dua karya ini oleh para eksternalis dianggap membingungkan, kacau dan ditulis secara longgar.
Adalah
benar bahwa kedua kitab ini sebagian merupakan pembimbing yang harus
digunakan dalam hubungannya dengan ajaran dan praktek Sufi yang
sesungguhnya — kerja, pemikiran, kehidupan dan seni. Namun bahkan
seorang komentator yang menerima kenyataan atmosfir ini sebagai sengaja
diciptakan dan yang mengulang penilaian Sufi dalam buku, memperlihatkan
dirinya sendiri dalam hubungan personal menjadi agak kebingungan
terhadap semua hal itu. Selain itu harus dikatakan bahwa ia memandang
dirinya sebagai seorang Sufi, meskipun tidak diakui oleh metode Sufi
mana pun. Di bawah pengaruh orang-orang semacam ini, studi Barat tentang
Sufisme dan sekarang dalam periode kebangkitan yang luar biasa, telah
menjadi sedikit lebih Sufistik, meskipun ia masih harus menempuh jalan
panjang. “Sufi intelektual” merupakan kegemaran mutakhir di Barat.
Sufisme
tentu saja mempunyai terminologi teknis yang khas, dan puisi-puisi Rumi
kaya akan jenis-jenis umum dan khusus dari istilah-istilah dasar itu.
Sebagai contoh, ia menggambarkan dalam kitab ketiganya, Diwan asy-Syams
at-Tabriz, beberapa konsep pikiran dan aktivitas yang diproyeksikan
dalam suatu pertemuan rahasia para darwis. Diramu dengan puisi rapsodik
(penuh semangat), ajaran-ajaran Sufi “dalam pemikiran dan tindakan”
disampaikan melalui metode yang secara khusus dirancang proyeksinya:
Bergabunglah dengan komunitas Sufi, jadilah seperti mereka, maka lihatlah kebahagiaan dari kehidupan sejati. Pergilah sepanjang jalan yang runtuh dan lihatlah orang-orangyang merana (para pemilik rumah yang runtuh). Minumlah anggur, agar engkau tidak mempunyai rasa malu. Tutuplah kedua mata lahirmu, sehingga engkau bisa melihat dengan mata batin. Bukalah kedua tanganmu, jika engkau mengharap pelukan. Hancurkan berhala bumi untuk melihat wajah banyak berhala. Mengapa seorang perempuan tua begitu senang menerima sebuah mahar — dan karena tiga potong roti, mengapa engkau menerima kewajiban militer?
Sahabat kembali di malam hari; malam ini jangan minum — tutuplah mulutmu dari makanan, hingga engkau memperoleh makanan mulut. Di Majelis sang Pembawa Cawan yang ramah, berputarlah — masuklah ke dalam lingkaran. Berapa lama engkau mengitarinya? Inilah tawarannya — tinggalkan satu kehidupan, raihlah keramahan Pengembala… Hentikan pikiran kecuali bagi pencipta pikiran — berpikir tentang “kehidupan” lebih baik dibandingkan berpikir tentang roti. Di keluasan bumi Tuhan, mengapa engkau tertidur di sebuah penjara? Abaikan pemikiran-pemikiran rumit — untuk melihat jawaban jawaban yang tersembunyi. Diamlah untuk meraih kalam abadi. Tinggalkan “kehidupan” dan “dunia” untuk menyaksikan “Kehidupan Dunia”.
Meskipun
aktualitas Sufi tidak bisa diuji kemurniannya oleh kriteria yang lebih
terbatas dari pemikiran diskursif, puisi ini bisa dilihat sebagai suatu
perakitan faktor-faktor utama dalam metode Rumi. Ia mendeskripsikan arti
penting komunitas yang dicurahkan untuk memahami realitas, dimana
realitas hanyalah sebagai suatu pengganti. Pengetahuan ini hadir melalui
hubungan dengan orang lain, dengan terlibat dalam kegiatan kelompok,
begitu pula dalam pemikiran dan kegiatan personal. Suatu yang mendasar
hanya hadir jika pola-pola pemikiran tertentu telah direduksi dengan
perspektif yang tepat. Sang Salik harus “membuka tangannya” untuk
menerima sebuah pelukan, bukan mengharap sebuah pemberian sementara ia
berdiri pasif menunggunya. “Perempuan tua yang lemah” adalah semua
bentuk pengalaman duniawi sebagai pantulan dari suatu realitas terakhir
yang hampir tidak mungkin dibandingkan dengan apa yang tampak sebagai
kebenaran. Untuk “tiga potong roti” dalam kehidupan biasa, orang rela
menjual potensialitasnya.
Sahabat
datang di malam hari — datang, yaitu ketika segala sesuatu masih
tinggal dan ketika seseorang tidak tenggelam oleh pemikiran otomatis.
Makanan khas Sufi tidaklah sama dengan makanan biasa; tetapi ia
merupakan bagian esensial dari kemanusiaan. Kemanusiaan berputar-putar
di sekitar realitas dalam sebuah sistem yang tidak sejati. Ia harus
memasuki lingkaran dan bukannya sekadar mengikuti garisnya. Hubungan
kesadaran sejati dengan apa yang kita pandang sebagai kesadaran itu
bagaikan hubungan dari seratus kehidupan dengan satu kehidupan. Beberapa
karakteristik kehidupan sebagaimana kita ketahui — karakter pemangsa
dan egoisme serta banyak lagi lainnya sebagai penghalang bagi kemajuan —
harus dilenyapkan oleh faktor-faktor halus.
Pemikiran
non-diskursif adalah metode. Pemikiran harus diarahkan untuk seluruh
kehidupan, bukan terhadap aspek-aspeknya semata. Manusia laksana
seseorang yang mempunyai pilihan untuk menjelajahi bumi, tetapi ia
tertidur di sebuah penjara. Berbagai kepelikan intelektualisme yang
keliru itu menutupi kebenaran. Sikap diam merupakan awal pembicaraan
sejati. Kehidupan batin di dunia dicapai dengan cara mengabaikan
pemilahan “kehidupan” dan “dunia”.
Ketika
Rumi meninggal dunia pada tahun 1273, ia meninggalkan putranya,
Bahauddin, untuk melanjutkan kepemimpinan Tarekat Mevlevi. Pada masa
hidupnya ia dikelilingi oleh orang-orang dari setiap agama, dan pada
waktu pemakamannya dihadiri oleh orang-orang dari segala jenis
(kepercayaan).
Seorang
Kristen ditanya, mengapa ia menangis begitu pilu atas kematian seorang
guru Muslim. Jawabannya memperlihatkan pandangan Sufi tentang
pengulangan ajaran dan penyampaian aktivitas spiritual:
“Kami menghargainya seperti Musa, Dawud, Yesus zaman ini. Kami semua adalah para pengikut dan muridnya.”
Kehidupan
Rumi memperlihatkan campuran dari ajaran warisan dan pencerahan pribadi
yang menjadi pusat Sufisme. Keluarganya berasal dari keturunan Abu
Bakar, sahabat Nabi saw., dan ayahnya masih ada hubungan dengan keluarga
dengan Raja Khawarizmi Syah. Jalaluddin dilahirkan di Balkh, sebuah
pusat ajaran kuno pada tahun 1207 dan dalam legenda Sufi dinyatakan
bahwa, telah diramalkan oleh para mistikus Sufi, ia akan meraih masa
depan gemilang. Raja Balkh di bawah pengaruh orang-orang skolastik,
berbalik menentang para Sufi, terutama menentang kerabat ayah Rumi.
Seorang guru Sufi ditenggelamkan di Sungai Oxus atas perintah Syah.
Hukuman ini membayangi invasi orang-orang Mongol dimana Najmuddin
al-Kubra, seorang pemimpin Sufi terbunuh di medan tempur. Najmuddin
inilah pendiri Tarekat Kubrawiyah yang berkaitan erat dengan
perkembangan Rumi.
Penghancuran
Asia Tengah oleh tentara-tentara Jengis Khan telah menyebabkan
tercerai-berainya para Sufi Turkistan. Ayah Rumi mengungsi bersama
putranya ke Nisyapur di mana mereka bertemu dengan guru besar lainnya
dari aliran Sufi yang sama, sang penyair Aththar, yang secara
“spiritual” menganugerahi putranya dengan barakah Sufi. Ia menghadiahi Rumi sebuah salinan kitabnya, Asrar-Namah (Book of Secrets). Kitab ini ditulis dalam bentuk puisi.
Tradisi
Sufi mengatakan bahwa karena potensi spiritual Jalaluddin muda telah
dikenali oleh para guru di zamannya, maka perhatian mereka untuk
melindungi dan mendidiknya menjadi motif bagi perjalanan kelompok
pengungsi itu. Mereka meninggalkan Nisyapur dengan kata-kata kewalian
Aththar yang terngiang dalam telinga mereka, “Anak ini akan memercikkan
api kemuliaan dan keagungan suci bagi dunia. ” Kota itu tidak aman.
Seperti Najmuddin, Aththar menunggu gilirannya menuju ke-syahid-an yang diterimanya dari tangan orang-orang Mongol tidak lama setelah itu.
Kelompok
Sufi dengan pemimpin mudanya itu sampai ke Baghdad di mana mereka
mendengar penghancuran Balkh dan pembantaian penduduknya. Selama
beberapa tahun mereka mengembara, menunaikan ibadah Haji ke Mekkah,
kembali menuju utara ke Syria dan Asia Kecil, mengunjungi pusat-pusat
Sufi.
Asia
Tengah terpecah-belah karena serangan orang-orang Mongol yang tiada
henti-hentinya, dan setelah tegak kurang dari enam abad, peradaban Islam
tampaknya menjelang keruntuhannya.
Pada
akhirnya ayah Rumi mendirikan pusat kegiatannya tak jauh dari Konia,
yang terkait dengan nama St. Paul. Pada saat itu, kota itu berada di
tangan penguasa Seljuk dan Raja Seljuk mengundang Jalaluddin untuk
tinggal di sana. Ia menerima sebuah jabatan profesional dan melanjutkan
mengajar putranya tentang rahasia-rahasia Sufi.
Jalaluddin juga berhubungan dengan Guru Terbesar (asy-Syekh al Akbar),
penyair dan seorang guru dari Spanyol, yaitu Ibnu Arabi yang pada waktu
itu berada di Baghdad. Hubungan itu terjadi melalui Burhanuddin, salah
seorang guru Rumi yang melakukan perjalanan ke kawasan Seljuk untuk
menemui ayah Rumi yang baru saja meninggal. Karena menggantikannya
sebagai pembimbing Rumi, ia membawanya ke Aleppo dan Damaskus.
Ketika usianya mencapai empat puluh tahun, Rumi memulai pengajaran mistiknya secara semi-publik. Seorang
darwis misterius, “Syamsuddin at-Tabrizi” mengilhaminya untuk
menghasilkan sejumlah besar puisinya yang terbaik dan untuk meramu
ajaran-ajarannya dengan cara dan bentuk yang dirancang untuk
mempertahankan keseluruhan Tarekat Mevlevi. Karyanya telah diselesaikan
dan darwis misterius itu lenyap setelah masa sekitar tiga tahun dan
tidak ada lagi jejak tentang dirinya yang bisa dilaporkan.
“Utusan
dari dunia tak dikenal” ini oleh putra Rumi disepadankan dengan Khidr
yang misterius, pembimbing dan pelindung para Sufi yang muncul kemudian
berlalu dari kognisi normal setelah menyampaikan pesannya.
Selama
masa inilah Rumi menjadi seorang penyair. Baginya, meskipun ia diakui
sebagai salah satu penyair terbesar Persia, puisi hanya suatu produk
sekunder. Ia memandangnya tidak lebih dari suatu refleksi realitas batin
yang besar dan merupakan kebenaran serta disebutnya sebagai refleksi
dari Cinta. Cinta terbesar, tuturnya, adalah keheningan dan tidak bisa
diungkapkan dengan kata-kata. Meskipun puisinya mempengaruhi pikiran
manusia sedemikian kuat, sehingga hanya bisa disebut sebagai kekuatan
magis, ia tidak pernah terbawa olehnya sampai pada tingkatan
mengidentifikasikan puisi itu dengan wujud yang jauh lebih besar, dimana
puisi hanyalah ekspresi yang lebih kecil. Pada saat yang sama, ia
mengakuinya sebagai sesuatu yang bisa membangun jembatan antara apa
“yang benar-benar ia rasakan” dengan apa yang bisa ia lakukan untuk
orang lain.
Dengan
memakai metode Sufistik untuk mendapatkan perspektif tentang sesuatu,
bahkan dengan resiko menghancurkan gagasan-gagasan yang paling mendasar,
ia sendiri mengambil peranan kritik sastra. Orang-orang datang
kepadanya dan ia mencintai mereka. Dalam rangka memberikan sesuatu
kepada mereka agar bisa memahami, ia memberikan puisi kepada mereka.
Tetapi puisi itu untuk mereka, bukan untuk dirinya, betapapun ia sebagai
penyair besar — “Di atas segalanya, apakah peduliku dengan puisi?”
Untuk menekankan pesan itu, dimana hanya seorang penyair dengan reputasi
kontemporer terbesar yang berani melakukannya, ia menyatakan secara
kategoris bahwa jika dibandingkan dengan realitas sejati, maka dirinya
tidak punya waktu untuk menulis puisi. “Ini hanyalah nutrisi,” katanya,
“yang bisa diterima pengunjungnya,” maka seperti tuan rumah yang baik,
ia menyuguhkannya.
Seorang
Sufi tidak akan pernah membiarkan sesuatu berdiri sebagai penghalang
antara apa yang ia ajarkan dengan mereka yang sedang mempelajarinya. Di
sinilah penekanan Rumi terhadap peranan subsider puisi dalam hubungannya
dengan pencarian sejati. Sebenarnya apa yang ingin disampaikannya
berada di luar jangkauan puisi. Bagi orang yang pikirannya telah
terkondisikan oleh kepercayaan bahwa tidak ada sesuatu pun yang lebih
sublim dari ungkapan puitis, maka perasaan semacam ini mungkin bisa
mengakibatkan keterkejutan hebat. Hanya aplikasi dampak inilah yang
perlu bagi tujuan Sufi dalam membebaskan pikiran dari ikatan fenomena
sekunder, “berhala-berhala”.
Sebagai
pewaris ayahandanya, Rumi sekarang memproyeksikan ajaran-ajaran
mistisnya melalui kesenian. Musik, tarian dan puisi digunakan dalam
berbagai pertemuan darwis. Pengubahan melalui berbagai latihan mental
dan fisik ini dirancang untuk membuka pikiran menuju pengakuan
potensialitasnya yang lebih besar, melalui tema harmoni. Pengembangan
harmonis melalui sarana harmonis mungkin merupakan paparan dari apa yang
dipraktekkan Rumi.
Mempelajari
ajaran-ajaran Rumi semacam ini dari luar, telah membingungkan banyak
pengamat asing. Salah satu di antara mereka merujuk pada “pandangannya
yang tidak Timur bahwa perempuan bukan sekadar barang mainan, tetapi
suatu pancaran Ilahi.”
Salah satu puisi Rumi yang diterbitkan dalam Diwan asy-Syams at-Tabriz,
telah menyebabkan sejumlah kebingungan bagi kalangan literalis. Karya
ini merupakan kajian Rumi terhadap semua bentuk agama yang berlaku, baik
agama lama maupun baru. Kesimpulannya bahwa kebenaran esensial terletak
pada kesadaran batin manusia itu sendiri, bukan pada
organisasi-organisasi eksternal. Hal ini benar jika kita menyadari bahwa
menurut kepercayaan Sufi, “pengujian” kepercayaan dilakukan dengan cara
khusus. Seorang Sufi tidak perlu berkelana dari satu negeri ke negeri
lainnya, mencari agama-agama untuk dipelajari dan mengambil apa yang
bisa dibawa dari agama-agama itu. Ia juga tidak harus membaca
kitab-kitab teologi dan tafsir untuk membandingkan satu ajaran dengan
ajaran lainnya. “Perjalanannya” dan “pengujiannya” terhadap
gagasan-gagasan lain terjadi dalam dirinya. Hal ini karena Sufi percaya
bahwa seperti setiap orang mengalami sesuatu yang lain, ia memiliki
pandangan batin yang mampu mengukur realitas dari sistem-sistem
keagamaan yang ada. Tegasnya, akan sangat berat dan tidak berguna untuk
mendekati suatu persoalan metafisis dengan menggunakan metode penelitian
biasa. Seseorang yang bertanya, “Apakah Anda telah membaca buku tentang
ini dan itu, karangan si Anu dan si Fulan?” niscaya akan menggunakan
pendekatan keliru. Bukanlah buku atau pengarangnya, tetapi realitas buku
dan penulis yang ingin disampaikan itulah yang penting bagi Sufi.
Untuk
memperoleh pemahaman tentang seseorang atau ajarannya, seorang Sufi
hanya membutuhkan sebuah contoh. Tetapi contoh ini harus akurat. Dengan
kata lain, ia harus ditempatkan dalam hubungan erat dengan faktor
esensial dalam pengajaran yang terkait. Sebagai contoh, seorang murid
yang tidak memahami secara menyeluruh sistem yang diikutiny, tidak bisa
menyampaikan secara memadai sistem itu kepada Sufi guna memungkinkannya
membuat pengenalan yang diperlukan.
Berikut
ini adalah puisi dimana Rumi berbicara tentang pencapaian hubungan erat
dengan berbagai agama dan reaksinya terhadap agama-agama itu:
- Salib orang-orang Kristiani, dari ujung ke ujung
- telah aku kaji. Dia tidak ada di salib itu.
- Aku telah pergi ke kuil Hindu, ke pagoda tua.
- Di tempat-tempat itu tidak ada tanda-tandanya.
- Aku pergi ke dataran tinggi Herat dan Kandahar.
- Aku melihat.
- Dia tidak ada di dataran tinggi maupun rendah.
- Dengan hati yang mantap, aku pergi ke puncak gunung Kaf.
- Di sana hanya ada sarang burung ‘Anqa.
- Aku pergi ke Ka’bah. Dia tidak ada di sana.
- Aku bertanya kepada Ibnu Sina tentangnya:
- Dia di luar jangkauan filosuf ini …
- Aku melihat ke dalam kalbuku sendiri.
- Di situlah tempatnya, Aku melihatnya.
- Dia tidak di tempat lain …
Kata
ganti “dia” di sini maksudnya adalah realitas sejati. Sufi adalah
abadi. Penggunaan kata-kata seperti “kemabukan” atau “anggur” maupun
“hati” adalah penting, namun paling jauh hanya untuk mendekati realitas
sejati itu dengan menggunakan suatu parodi. Sebagaimana Rumi
menyatakannya:
- Sebelum kebun, tanaman dan buah anggur tercipta di dunia ini,
- Jiwa kami telah mabuk dengan anggur abadi.
Sufi
mungkin terpaksa mempergunakan perumpamaan dari dunia yang dikenal pada
jenjang awal penyampaian, tetapi Rumi mengikuti standar rumusan Sufi
dengan sangat ketat. Tongkat penyangga harus dibuang jika si pasien
sudah mampu berjalan sendiri. Nilai dari cara ekspresi Rumi bagi murid
adalah fakta bahwa ia menjadikan hal ini jauh lebih jelas dari semua
bahan yang tersedia di luar sekolah-sekolah Sufi. Jika Tarekat eksternal
tertentu telah terbiasa mengondisikan para pengikutnya secara literal
dengan menggunakan perangsang secara berulang-ulang, menandai waktu pada
jenjang perkembangan tertentu, mempertahankan kebutuhan murid kepada
“tongkat penyangga”, tentu saja ini bukan kesalahan Rumi.
dikutip : http://sufismenews.blogspot.com
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul:
MAULANA JALAUDDIN RUMI
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke
https://fadhilaizki.blogspot.com/2014/09/maulana-jalauddin-rumi.html
. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar :
Posting Komentar