Abunawas
Sabtu, 13 September 2014
0
komentar
Ilahi, lastu lilfirdausi ahla.
Wala aqwa 'ala naril jahimi
Fahab li tawbatan waghfir dzunubi.
Fainaka ghafirud dzanbil adzimi
Artinya:
Tuhanku, Hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga (Firdaus).
Tuhanku, Hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga (Firdaus).
Namun, hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka.
Maka berilah hamba tobat dan ampunilah hamba atas dosa-dosa hamba.
Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Mahaagung
Dua bait syair di atas tentu sudah sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia terutama kaum tradisionalis Islam. Beberapa saat menjelang shalat Magrib atau Subuh, jemaah di masjid-masjid atau musala di pedesaan biasanya mendendangkan syair tersebut dengan syahdu sebagai puji-pujian. Konon, kedua bait tersebut adalah hasil karya tokoh kocak Abu Nawas. Ia adalah salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah 1001 Malam.
Bagi
masyarakat Islam Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan
lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas dikenal terutama karena kelihaian dan
kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor. Mirip
dengan Nasrudin Hoja, sesungguhnya ia adalah tokoh sufi, filsuf,
sekaligus penyair. Ia hidup di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad
(806-814 M).
Selain
cerdik, Abu Nawas juga dikenal dengan kenyentrikkannya. Sebagai
penyair, mula-mula ia suka mabuk. Belakangan, dalam perjalanan
spiritualnya mencari hakikat Allah dan kehidupan sejati, ia menemukan
kehidupan rohaniahnya yang sejati meski penuh liku dan sangat
mengharukan. Setelah mencapai tingkat spiritual yang cukup tinggi,
inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan.
Ia tampil sebagai penyair sufi yang tiada banding.
Nama
asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia
dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran
sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di
tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer
Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja
sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian
membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai
ilmu pengetahuan.
Masa
mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil
sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu,
sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa
kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid
al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya'qub
al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin
Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin
Sa'ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin
Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke
puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas
yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat
Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman,
hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus
bahasa Arab.
Kemudian
ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia
berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu
Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya
dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni
cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi,
Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah
tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru.
Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia
intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu
dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah
Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas
dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya'irul bilad).
Sikapnya
yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna.
Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan
menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya
dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara.
Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang
dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas
memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi
kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga
Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan
menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami.
Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan
digantikan oleh Al-Amin.
Sejak
mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius.
Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh
glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua
bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami
sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat.
Tetapi,
justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai
ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang
menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak
selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam
kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Seorang
sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir
hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa
sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah
merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai
tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang
menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811
M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon
Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh
keluarga Nawbakhti - yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di
Syunizi di jantung Kota Baghdad.
Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas
yang telah dicetak dalam berbagai bahasa. Ada yang diterbitkan di Wina,
Austria (1885), di Greifswald (1861), di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M),
Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa
manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden,
Bodliana, dan Mosul.
Salah
satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat menejelang
sakaratulmautnya. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya mengkafaninya
dengan kain bekas yang lusuh. Agar kelak jika Malaikat Munkar dan Nakir
datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat menolak dan mengatakan. "Tuhan,
kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah
compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang
sudah lama."
Tentu
ini hanyalah sebuah lelucon, dan memang kita selama ini hanya menyelami
misteri kehidupan dan perjalanan tohoh sufi yang penuh liku dan sarat
hikmah ini dalam lelucon dan tawa.dikutip : http://sufismenews.blogspot.com
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul:
Abunawas
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke
https://fadhilaizki.blogspot.com/2014/09/abunawas.html
. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar :
Posting Komentar