Reaksi Terhadap Kezaliman
Rabu, 10 September 2014
0
komentar
Ketika
suatu perbuatan dzalim dilakukan seseorang, maka orang yang didzalimi
akan memberikan reaksi yang beragam, antara lain : Ada yang membalas;
Ada yang tidak membalas; Dan ada yang mendo’akan kebaikan kepada orang
yang mendzalimi. Ketika sedang berjalan, Ibrahim bin Adham bertemu
dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya. Lelaki itu bertanya
kepadanya letak perkampungan terdekat. Ibrahim segera saja mengarahkan
jari telunjuknya ke pemakaman yang ada di dekat situ sambil berkata,
"Itulah perkampungan yang sebenarnya, sebuah perkampungan hakiki".
Lelaki itu mundur sedikit lalu dengan perasaan kurang senang berkata,
"Aku menanyakan letak perkampungan, mengapa kamu menunjukkan pekuburan
kepadaku? Apa kamu hendak mengolok-olok aku?". Dengan penuh kemarahan,
lelaki itu memukul kepala Ibrahim dengan tongkatnya sehingga darah
bercucuran dari kepala Ibrahim. "Pukullah kepala yang telah lama berbuat
dosa kepada Allah ini", gumam Ibrahim bin Adham sambil berusaha
menghentikan aliran darah dari kepalanya. Lelaki itu kemudian pergi.
Kejadian ini di ketahui oleh orang yang kebetulan berada tidak jauh dari
tempat itu. Ia lalu menghampiri pendatang tadi dan berkata, "Hai
lelaki, tahukah kamu maksiat yang telah kamu lakukan hari ini? Kamu baru
saja memukul kepala orang yang paling banyak beribadah di zamannya.
Kamu baru saja memukul Ibrahim bin Adham, seorang zahid yang terkenal".
Mendengar ini, lelaki itu segera kembali mendatangi Ibrahim lalu meminta
maaf. "Aku telah memaafkanmu dan mendoakanmu masuk surga", kata
Ibrahim. "Bagaimana mungkin?", seru lelaki itu dengan perasaan lega
bercampur heran. "Karena, ketika kamu memukul kepalaku, aku bersabar,
dan balasan bagi orang yang sabar tidak lain adalah surga. Jadi,
tidaklah pantas jika aku masuk surga karena kamu, tetapi kemudian aku
mendoakanmu masuk neraka. Ini juga bukanlah sikap yang bijaksana“, jelas
Ibrahim bin Adham. Hal tersebut berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
Sa’id bin Zaid r.a. salah satu dari sepuluh sahabat Rasul saw. yang
dijamin masuk surga. Dari Urwah bin Zubair, bahwa Arwa binti Aus
mengadukan Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nafil r.a. kepada Marwan bin
Hakam. Ia menuduh Sa’id telah mengambil tanahnya. "Apakah setelah
mendengar sabda Rasalullah saw. aku akan mengambil sebagian tanahnya?",
kata Sa’id. "Apakah sabda Rasulullah saw. yang kamu dengar?", tanya
Marwan. "Aku mendengar Rasullullah saw. Bersabda : “Barang siapa
mengambil sejengkal tanah secara dzalim maka ia akan diberi kalung dari
tanah itu seberat tujuh lapis bumi”, kata Sa’id. "Setelah mendengar
hadis ini aku tidak memerlukan bukti lagi darimu", kata Marwan. Lalu
Sa’id berdo’a, "Ya Allah, jika wanita ini berdusta maka butakanlah
matanya dan matikanlah ia di tanahnya". 'Urwah berkata, "Wanita itu
tidak meninggal kecuali setelah buta kedua matanya. Dan suatu hari
ketika sedang berjalan di tanah miliknya ia terjerumus ke dalam sebuah
lubang dan mati". (HR Bukhari dan Muslim). Syekh Ibnu Atha’illah
As-Syadzili r.a. dalam kitabnya Latha’if Al-Minan menyebutkan, bahwa
Ibrahim bin Adham memaafkan seseorang yang memukul kepalanya. Syekh Abu
Abbas Al-Mursi r.a. mengatakan, bahwa sikap Sa'id bin Zaid r.a. salah
seorang dari 10 sahabat Rasulullah saw. yang telah dijamin masuk surga,
yang mendoakan keburukan bagi wanita yang menuduhnya telah mengambil
tanahnya tanpa hak adalah lebih sempurna daripada sikap Ibrahim bin
Adham yang memaafkan orang yang menyakitinya. Secara umum perbuatan
Ibrahim bin Adham lebih baik dan utama. Berbagai dalil syariat juga
menganjurkan agar manusia bersifat pema’af, kecuali pada peristiwa yang
dialami oleh Sa’id bin Zaid, namun peristiwa seperti ini jarang terjadi
dan bersifat khusus. Peristiwa yang terjadi pada diri Sa’id bin Zaid ini
serupa dengan peristiwa yang pernah dialami Sa'ad bin Abi Waqqash.
Suatu hari seorang warga Kufah menghina kehidupannya dalam beragama dan
keteguhannya dalam memegang amanat. Dari Jabir bin Samurah r.a. beliau
berkata, "Penduduk Kufah mengadukan Sa'ad bin Abi Waqqash kepada 'Umar
bin Khathab r.a. Umar lalu memecat Sa’ad dan mengangkat ‘Ammar sebagai
penggantinya. Penduduk Kufah mengatakan bahwa shalat Sa'ad tidak benar.
Umar kemudian memanggil Sa'ad dan berkata, “Hai Abu Ishaq (julukan
Sa'ad), penduduk Kufah mengatakan bahwa shalatmu tidak baik!”. Sa'ad
menjawab, “Demi Allah, aku mengimami mereka sebagaimana shalatnya
Rasulullah saw, tidak sedikit pun aku menguranginya. Pada saat shalat
Isya kupanjangkan dua rakaat pertama dan kupendekkan dua rakaat yang
lain!”. Umar berkata, "Wahai Abu Ishaq, ketahuilah, begitulah prasangka
kami kepadamu". Umar lalu mengirim beberapa utusan untuk pergi bersama
Sa'ad ke Kufah. Pada setiap masjid yang dikunjungi, mereka bertanya
tentang Sa'ad, dan ternyata mereka semua memuji Sa'ad. Namun, ketika
mereka memasuki masjid Bani Abbas, seorang yang bernama Usamah bin
Qatadah, bergelar Abu Sa'adah, berdiri dan berkata, "Jika kalian
menanyakan tentang Sa’ad, maka ketahuilah bahwa Sa'ad tidak pernah
keluar memimpin pasukan dan bila menghukumi tidaklah adil". Sa’ad lalu
berkata, “Demi Allah, aku akan mendoakannya dengan tiga hal. Ya Allah,
jika hamba-Mu ini berdusta dan jika ia berdiri karena riya' dan sum'ah,
maka panjangkanlah umurnya, jadikanlah ia selalu dalam keadaan fakir,
dan timpakanlah kepadanya berbagai fitnah”. Usamah bin Qatadah hidup
sampai lanjut usia. Jika ditanya, ia berkata, ”Aku adalah lelaki tua
yang terkena fitnah karena do’a Sa’ad”. Abdul Malik bin Umar yang
merawikan hadis ini dari Jabir bin Samurah dan berkata, “Sungguh aku
melihat lelaki itu demikian tuanya sehingga alisnya menutupi kedua
matanya. Ia selalu berada di tepi jalan menganggu setiap wanita yang
berlalu lalang”. (HR. Bukhari dan Muslim). Sa’ad bin Abu Waqqash dan
Sa’ad bin Zaid, adalah dua sahabat yang telah dijamin masuk surga.
Sebenarnya peristiwa semacam ini banyak terjadi dalam kehidupan para
sahabat dan tabi’in. Namun, jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan sikap pemaaf yang ditunjukkan oleh para Anbiya’ wa Al-Mursalin.
Sikap yang benar adalah sebagaimana yang telah kita ketahui. Jika
peristiwa tersebut berhubungan dengan harta benda dan kehormatan
seseorang, maka memberi ma’af adalah lebih utama. Namun, jika peristiwa
yang terjadi berhubungan dengan agama, kehormatan Allah dan hal-hal
semacamnya, maka membalas adalah lebih utama. Semua sikap yang
diriwayatkan di atas pernah dicontohkan oleh Rasululah saw. dalam ucapan
maupun perbuatannya. Setiap orang yang mendalami Sunnah Nabawiyyah
tentu mengetahuinya. (An-Nafais Al-Ulluwiyyah : 180-182)
almihrab.com
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul:
Reaksi Terhadap Kezaliman
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke
http://fadhilaizki.blogspot.com/2014/09/reaksi-terhadap-kezaliman.html
. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar :
Posting Komentar