Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Bagian III)
Rabu, 17 September 2014
0
komentar
PUPUH
VI
DHANDHANGGULA
Episode VI : Sunan Kalijaga
menerima wejangan dari Nabi Khidir.
1. Kalau begitu hamba tidak
mau keluar dari raga dalam tuan. Sudah nyaman di sini saja. Yang bebas dari
segala sengsara derita. Tiada selera makan dan tidur. Tidak merasa ngantuk dan
lapar. Tidak harus bersusah payah. Bebas dari rasa pegal dan nyeri. Yang terasa
ada hanyalah rasa nikmat dan manfaat. Nabi Khidir memperingatkan : Yang
demikian itu tidak boleh kalau tanpa kematian!.
2. Jeng nabi Khidir semakin
merasa iba. Kepada pemohon yang meruntuhkan rasa iba. Kata nabi Khidir kalau
begitu yang awas sajalah! Terhadap hambatan upaya! Jangan sampai kau kembali!
Yang benar memohonnya dan yang waspada! bagimu anggaplah! Kalau sudah kau
kuasai! Jangan hanya digunakan dengan dasar bila ingat saja! Karena hal itu
sebagai rahasia Allah!.
3. Tidak diperkenankan kalau
obrolan! Kepada sesama manusia! Kalau tanpa seizinnya! Sekiranya ada yang akan
mempersoalkan. Memperbincangkan masalah ini! Jangan sampai terlanjur! Jangan
sampai membanggakan diri! Jangan peduli terhadap gangguan cobaan hidup! Tapi
justru terimalah dengan sabar!.
4. Cobaan hidup yang menuju
kematian. Ditimbulkan akibat buah pikir. Bentuk yang sebenarnya ialag tersimpan
rapat di dalam jagatmu! Hidup tanpa ada yang menghidupi kecuali Allah saja.
Tiada antara lamanya tentang adanya itu. Bukankah sudah berada di tubuh?
Sungguh bersama lainnya selalu ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan!.
5. Kemudian tidak pernah
memberitahukan dari mana asalnya dulu. Yang menyatu dalam gerak perputaran
bawana. Bukankah beritanya sebenarnya sudah ada padamu? Cara mendengarnya bagi
ruh sejati. Tidaklah menggunakan telinga. Cara melatihnya. Juga tanpa dengan
mata. Adapun telinganya, matanya yang diberikan oleh Allah. Ada
padamu itu.
6. Secara lahir sukma itu
sudah ada padamu. Secara batinnya ada pada sukma itu sendiri. Memang demikanlah
penerapannya. Ibarat seperti batang pohon yang dibakar. Pasti ada asapnya api.
Menyatu dengan batang pohonnya. Ibarat air dengan alunnya. Seperti minyak
dengan susu. Tubuhnya dikuasai oleh gerak dan kata hati. Demikian pun dengan
Hyang Sukma.
7. Sekiranya kita mengetahui
wajah hamba Tuhan. Dan sukma yang kita kehendaki ada. Diberitahu akan
tempatnya. Seperti wayang ragamu itu. Karena dalanglah segala geraknya wayang.
Sedangkan panggungnya jagad. Bentuk wayang adalah sebagai bentuk badan/raga.
Bergerak bila digerakkan. Segala-galanya tanpa kelihatan jelas antara perbuatan
dengan ucapan.
8. Yang berhak menentukan
semuanya. Tidak tampak wajahnya kehendak. Justru tanpa wujud dalam bentuknya.
Karena sudah ada pada dirimu. Upama yang jelas ketika berhias. Yang berkaca itu
Hyang Sukma. Adapun bayangan dalam kaca itu yang ada dalam kaca. Itulah dia
yang bernama manusia sesungguhnya. Bentuknya di dalam kaca.
9. Lebih besar lagi
pengetahuan tentang kematian ini. Dibandingkan dengan kesirnaan jagad raya.
Karena lebih lembut seperti lembutnya air. Bukankah lebih lembut kematian
manusia? Artinya lembut ialah karena kecilnya. Sekacil kuman. Bukankah masih
karena kecil lembut kesirnaan manusia? Artinya lebih dari “Karena menentukan
segalanya”. Sekali lagi artinya lembut ialah sangat kecilnya.
10. Dapat mengenai yang kasar
dan yang kecil. Mencakup semua yang merangkak. Melata tiada bedanya.
Benar-benar serba lebih. Lebih pula dalam hal menerima perintah tidak boleh
mengandalkan. Pada ajaran pada pengetahuan. Karenanya bersungguh-sungguhlah
menguasainya. Badan/dirimu doronglah dalam meraihnya. Pahamilah liku-liku ulah
tingkah manusia kehidupan!.
11. Ajaran itu ibarat sebagai
benih. Yang diajari ibarat lahan. Umpama kacang dan kedelai. Yang disebar di
atas batu. Kalau batunya tanpa tanak. Pada saat kehujanan dan kepanasan. Pasti
tidak akan tumbuh. Tapi bila kau bijaksana. Melihatmu musnakan pada matamu!
Jadikanlah penglihatan sukma dan rasa.
12. Demikan pun wujudmu,
suaramu. Serahkan kembali kepada Yang Empunya suara! Justru kau hanya
mengakukan saja. Sebagai pemiliknya. Sebenarnya hanya mengatas namai saja. Maka
dari itu kau jangan memiliki. Kebiasaan yang menyimpang. Kecuali hanya kepada
Hyang Agung. Dengan demikian kau “angraga sukma” yaitu kata hatimu sudah
bulat menyatu kawula Gusti. Bicaralah menurut pendapatmu!.
13. Bila pendapatmu
benar-benar menyakinkan. Bila masih mearasakan sakit dan masih was-was. Yaitu
kejangkitan bimbang sebenarnya. Bila sudah menyatu dalam satu wujud. Apa kata
hatimu apa yang kau rasakan. Apa yang kau pikir terwujud ada.yang kau
cita-citakan tercapai. Berarti sudah tercakup/kuasai olehmu. Jagad seisinya
justru benar-benar untukmu. Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai kholifah di
dunia.
14. Bila sudah memahami dan
menguasai amalan dan ilmu ini. Hendaknya semakin cermat dan teliti atas
berbagai masalah. Masalah itu satu tempat dengan pengaruhnya. Sebagai ibaratnya
sekejap pun tak boleh lupa. Lahiriyah kau landasilah. Pengetahuan empat hal.
Semuanya tanggapilah secara sama. Kelimanya yang satu itu ialah tersimpan baik.
Berguna / dapat dipakai dimana saja!.
15. Artinya mati di dalam
hidup. Atau sama dengan hidup di dalam mati.ialah hidup abadi. Yang mati itu
nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang
sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma muksa. Jelasnya
mengalami kematian! Syeh Melaya, terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan
senang hatimu! Anugerah berupa wahyu akan datang kepadamu.
16. Sepertti bulan yang
diterangi cahaya temaram. Bukankah temurunnya wahyu menghilangkan kotoran.
Bersih bening hilang kotorannya. Berkala lagi kemudian katanya. Nabi Khidir
berkata dengan lemah lembut dan tersemyum. Tak ada yang dituju. Semuanya sudah
tercakup haknya. Tidak ada yang diharapkan dengan kaprawiran, kesaktian
semuanya sudah berlalu. Toh semuanya itu alat peperangan.
17. Habislah sudah wejangan
Jeng Nabi Khidir. Syeh Melaya merasa ewuh pakewuh di dalam hati. Mawas diri ke
dalam dirinya sendiri. Kehendak hati rasanya sudah mendapat petunjuk cukup.
Rasa batinnya menjelajahi jagad raya tanpa sayap. Ke seluruh penjuru jagad
raya. Jasadnya sudah terkendali. Menguasai hakekat semua ilmu. Umpama bunga
yang masih lama kuncup. Sekarang sudah mekar berkembang.
18. Ditambah bau semerbaknya.
Karena sudah mendapatkan sang Pancaretna, kemudian disuruh keluar dari raganya
nabi Khidir kembali ke alamnya semula? Lalu Nabi Khidir berkata He, Melaya. Kau
sudah diterima Hyang Sukma. Berhasil menyebarkan aroma Kasturi yang sebenarnya.
Dan rasa yang memanaskan hatimu pun lenyap.
19. Sudah dijelajah seluruh
permukaan bumi. Berarti kau sudah mengetahui jawaban atas pertanyaanmu! Arti
godaan hati ialah rasa qana’ah yang semakin dimantapkan. Ibarat memakai pakaian
sutera yang indah. Selalu mau mawas diri. Semua tingkah laku yang halus.
Diresapkan ke dalam jiwa, dirawat seperti emas. Dihias-hias dengan keselamatan,
dan di pajang seperti permata. Agar mengetahui akan kemauannya berbagai tingkah
laku manusia.
20. Perhaluslah budi pekertimu
/ akhlak ini! Warna hati kita yang sedang mekar baik. Sering dinamakan kasturi
Jati. Sebagai pertanda bahwa kita tidak mudah goyah. Terhadap gerak-gerik sikap
hati yang ingin menggapai sesuatu tanpa ilmu. Ingin mendalami pengetahuan
tentang Ruh itu justru keliru. Lagi pula cara penataan kita itu ibaratnya
busana justru dipakai sebagai kerudung. Sedangkan yang ikat kepala sebagai
sarungmu.
21. Kemudian terlibat ingatan
kita dulu. Ibarat menjalani mati ketika berada di adalam rongga ragaku. Tampak
olehnya Sunan Kalijaga cahaya. Yang warnanya merah dan kuning itu. Sebagai
hambatan yang menghadang agar gagal usaha / ikhtiar / cita-citanya. Dan yang
putih ditengah itulah. Yang sebenarnya harus diikuti. Kelimanya harus tetap
diwaspadai. Kuasailah seketika jangan sampai lupa! Bisa dipercaya sifatnya.
22. Berat kesediaanku berbuat
sebagai penyekat. Untuk alat pembebas sifat berbangga diri. Yang selalu
didambakan siang dan malam. Bukankah aku banyak sekali melekat / mengetahu.
Caranya pemuka agama. Yang ternyata salah. Di dalam penafsiran. Dan penyampaian
keterangannya? Anggapannya sudah benar tahunya. Akhirnya malah
mematikan pengertian yang
benar. Akibatnya terporosok di dalam penerapannya.
23. Ada pemuka agama yang
ibaratnya menjadi burung. Ia hanya sekedar mencari tempat bertengger saja.
Yaitu pada batang kayu yang baik rimbun, lebat buahnya, kuat batangnya. Untuk
kemudian hidup baru. Ada yang orang berpangkat / kedudukan, ada yang ikut orang
kaya. Akhirnya dimasyarakatkan. Ada manusia bodoh dan malas yang
bergendang paha lewat
keduanya. Melebihi posisi orang banyak / masyarakat. Ibaratnya seperti sekedar
memperoleh kemulian sepele / naif. Jadinya tersesat-sesat sesatnya / berat.
24. Ada pula yang justru
memiliki jalan terpaksa. Menumppuk kekayaan harta dan istri banyak. Ada pula
yang memilih jalan mengusai putranya. Putra yang bakal mengusai. Hak asasi
orang seseorang. Semuanya ingin mendapatkan yang serba lebih. Di dalam memiliki
jalan mereka. Kalau demikan halnya, menurut pendapatku. Belumlah mereka itu
para pemuka agama berserah diri sepenuhnya kepada Allah tapi masih berkeinginan
pribadi / berambisi. Agar semua itu menjunjung harkat dan martabatnya.
25. Catatan, tatanan yang
tidak pasti. Belum bisa disebut manusia utama. Yang demikan itu menurut
anggapannya. Dan perasannya mendapatkan kebahagiaan, kekayaan dan mengerti yang
hak benar. Bila kemudian tertimpa kedudukaan, terlanjur biasa. Memilih jalan
sembarang tempat. Tanpa menghasilkan jerih payahnya dan tanpa hasil. Dalam arti
mengalami kegagalan total.
26. Setidak-tidaknya
menimbulkan kecuriagaan. Apa kebiasaan kita hidup di dunia. Ketika mengahadapi
datangnya maut. Di situlah biasanya. Tidak kuat menerima ajal. Merasa beratnya
meninggalkan kehidupan dunia tak tersangkal lagi. Pokonya masih lekat sekali
pada kehidupan duniawi. Begitulah beratnya mencari kemuliaan. Tidak boleh lagi
merasa terlekat kepada anak-istri. Pada saat-saat menghadap ajalnya.
27. bila salah menjawab
pernyataan bumi. Lebih baik jangan jadi manusia! Kalau matinya binatang mudah
penyelesaiannya. Karena matinya tanpa pertanggungjawaban. Bila kau sudah merasa
hatimu benar. Akan hidup abadi tanpa hisab. Ibaratnya tubuh bumi itu.
Keterdiamannya tidak membantu. Kesepiannya tidak mencair. Tidak mempedulikan
pembicaraan orang lain yang ditujukan kepadanya.
28. Ingatlah pada agamawan
selalu mencari penyelesaian yang benar. Yaitu bagaimana hilang dan mati bersama
raganya ialah yang diidamkannya. Sehingga mempertinggi semedinya. Untuk / agar
mengejar keberhasilan. Tapi sayang tanpa petunujuk Allah, kecuali hanya semedi
semata. Tidak disertai dukungan ilmu. Akibatnya hasilnya kosong melompong.
Karena hanya mengandalkan pikirnya. Ini berarti belum mendapatkan tata cara
hidup yang benar hakiki yang seperti ini adalah idaman yang sia-sia.
29. Bertapanya sampai kurus kering.
Karena sedemikaan rupa caranya menggapai tentang kematian. Akhirnya
meninggalnya tanpa ketentuan yang benar. Karen terlalu serius. Adapun cara yang
benar adalah. Tapa itu hanya sebagai ragi / pemanas / pemantap pendapat.
Sedangkan ilmu itu sebagai pendukung. Tapa dan ilmu tidak akan berhasil. Bila
ilmu tanpa tapa.
30. Rasanya hambar tidak akan
memberi hasil. Berhasil atau tidaknya tergantung pada penerapannya. Dicegah
hambatannya yang besar. Sabar dan tawakal. Bukankah banyak agamawan palsu.
Ajarannya setengah-setengah. Kepada shabatnya. Para sahabatnya merasa pintar
sendiri. Yang tersimpan di hati, segera dilontarkan segala uneg-unegnya.
Disampaikan kepada gurunya.
31. Penyampaiaanya hanya
berdasarkan perkiraan belaka. Dahulunya belum mendapatkan pelajaran. Sangking
tobatnya tidak merasa enak kalau menyanggah. Lalu ikut-ikutan mendengarkan.
Dengan menanamkan. Rekaniwan yang terbesar. Dianggapnya sudah pasti pendapatnya
benar. Pendapatnya / ilmunya adalah wahyunya itu anugrah yang khusus diberikan
pribadi. Akhirnya sahabatnya diaku sebagai anak.
32. Ditekan-tekankan tuntutan
besar berupa ikatan batin. Oleh guru bila sudah akan mejang / menyampaikan
ajaran. Duduk mereka sering berdekatan. Sehingga sahabat dikuasai oleh guru,
dan snag guru menjadi sahabatnya batin. Luasnya tanggapan bahwa. Segala
merupakan wahyu Allah. Kebaikannya, keduanya antara guru dan sahabat. Saling
memahami. Kalau seseorang diantara mereka dianggap sebagai orang
yang berilmu.
33. Harus ditaati segala
apapun yang diucapkan itu. Umpama berjalan juga harus disembah biasanya
bertempat di pucuk-pucuk gunung. Pengaruh ajarannya sangat mengundang
perhatian. Menemui perguruannya. Bila ada yang berguru / menghadap. Nasihatnya
macammacam dan banyak sekali. Seperti gong besar yang dipukul. Bukankah yang
ajarannya dibeber tapi tidak bermutu / bobot. Akibatnya rugilah
mereka yang berguru.
34. Janganlah seperti itu
orang hidup. Anggaplah ragamu sebagai wayang. Digerakkan ditempatnya. Terangnya
blencong itu. Ibarat panggung kehidupan. Lampunya bulan purnama. Layarnya
ibarat alam jagad raga yang sepi kosong. Yang selalu menunggu-nunggu buah pikir
/ kreasi manusia. Batang pisang ibarat bumi tempat mukimnya wayang / manusia.
Hidupnya ditunjang oleh yang nanggap.
35. Penanggapnya ada di dalam
rumah, istana. Tidak diganggu siapa pu boleh berbuat menurut kehendaknya. Hyang
premana dalangnya / sutradaranya. Wayang pelakunya. Adakalanya digerakkan ke
utara, ke selatan dan barat serta ketimur. Seluruh gerakannya. Digerakkan oleh
sutradara. Bila semuanya digerakkan berjalan. Semua ada di tangan dalang.
36. dialognya menyampaikan
pesan juga. Bila bercakap, lisannya itu menyampaikan berbagai nasihat. Menurut
kehendaknya. Para penanton dibuat terpesona. Diarahkan melekat pada dalang.
Adapun yang nanggap itu selamanya tak akan tahu. Karena ia tanpa bentuk dan ia
berada di dalam puri / rumah / istana. Ia tanpa warna itulah dia Hyang Sukma.
37. Cara Hyang Premono
mendalang / menggerakkan wayang. Mempercakapkan tentang dirimu. Tanpa
memperbedakan sesama titah. Di samping itu bukankah dia tidak terlibat sebagai
pelaku? Misalnya berada dalam tubuh? Atau yang ibarat minyak di dalam susu.
Atau api di dalam kayu? Berhasrat sekali karena belum diberi petunjuk sehingga
menggelar do’a di kayu, dakon dan gesekan. Dengan beralatkan sesma batang
pohon.
38. Gesekan itu disebabkan
oleh angin. Hangusnya kayu, keluarlah kukusnya. Tak lama kemudian apinya. Apai
dan asapnya. Keluardari kayu itu. Bermula dari ingat pada saat. Awal mulanya.
Semua yang tergelar ini. Berasal dari tiada, manusia diciptakan lebih dari
makhluk yang lain. Bukankah itu yang disebut rahsa.
39. Manusia itu tidak paling
mulia daripada ciptaan yang lain. Maka dari itu janganlah mudah terpengaruh
oleh buah pikirmu yang bulat. Bulat atas segala gerak dan kehendak. Adapun isi
jagad itu jangan mengira hanya manusia saja. Tetapi berisi segala macam titah,
hanya saja manusia itu. Penguasanya satu. Yang menghidupi seluruh jagad
seisinya. Demikianlah tekad yang sempurna itu.
40. Hai Syeh Melaya
segeralahkan menyudahi. Kembalilah kamu ke pulau Jawa! Bukankah sebenarnya kau
mencari dirimu juga? Syeh Melaya bergegas. Bersembah dan berkata dengan beriba
kasih untuk memenuhinya. Yang disebut Kalingga Murda. Hamba setia dan taat.
Nabi Khidir lalu musnah lenyap. Syeh Melaya tampak berdo’a di samudera. Tapi
tidak tersentuh air.
41. Syeh Melaya sangat
berjanji dalam hati. Atas peringatan / ajaran sang guru yang sempurna. Bukankah
ia masih sangat ingat? Hasrat hati yang telah memiliki / mengetahui ilmu
kawekas. Isinya jagad telah terkuasai dalam hati. Merasa mantap dan disimpan
baik dalam ingatan. Sehingga serba mengetahui dan tak akan keliru / salah lagi.
Diresapi dalam jiwa dan dijunjung tinggi sampai mati. Ia telah lulus dari
sumber aroma Kasturi yang sebenarnya. Sehingga sifat panasnya hati lenyap.
42. Sesudah itu Syeh Melaya
pulang. Hatinya sudah tidak goyah lagi karena segala ajaran itu tampak jelas
dalam batin. Ia tidak salah lagi lihat dirinya siapa sebenarnya. Penjelmaan
jiwanya menyatu dalam satu wujud. Walaupun secara lahiriah dirahasiakan. Norma
tatacara / perilaku jiwa satria. Berhasil dikuasai. Bukan ia sudah menggunakan
mata batinnya yang tajam / peka? Ibarat hewan dengan bebannya!.
43. Sudah tak akan ada /
terjadi, kematian dalam kehidupan. Setelah bagaimana ia menerima ajaran
gurunya. Sama sekali tidak diragukan lagi. Seluruh ajaran gurunya. Sudah tamat
dan dikuasai dengan tersimpan dalam hati. Serta diimankan dengan cermat.
Mematuhi semua ajaran guru. Perbuatan pikiran dan rasa. Bukankah diuji dalam
hati yang suci dan bening? Benar-benar terasa sebagai anugrah Tuhan.
44. Sesungguhnya sang guru
benar-benar. Yang sudah hilang raganya tidak ada. Selalu terbayang dalam
hatinya. Dan sudah duterapkan sebagai kekasihnya. Adapun segala ketercelaan
hati sudah lenyap. Rasanya tenanglah. Adapun segala ketercelaan hati sudah
lenyap. Rasnya tenanglah dunia dan akhirat. Karena kebersihan dan kesucian jiwa
sudah diketemukan. Sukma suci dalam segala tingkah lakunya itu memahami
sepaham-pahamnya.
45. Bukankah sudah memahami
buah pikir lewat petunjuk? Sehingga tidak takut akan kematian. Yang sering
timbul dalam buah pikiran? Ia sudah mengaharapkan bahwa raganya boleh kalau
kematian yang mulia. Yang diridhoi oleh Tuhan / Hyang Widi. Namun sebenarnya
tak ada anggapan perasan. Yaitu rasa seperti itu. Tiadanya pandang / wawasan
seperti itu. Bukankah sudah lenyap selamanya. Tinggal jiwa suci yang
terpuji mulia? Mulia seperti
zaman kunanya / awalnya.
46. Tidak meragukan kematian
yang sebenarnya. Yang menjelmput maut setiap saat. Tidak merasa akan
kematiannya. Toh yang rusak itu nafsunya dan. Badan, jiwa hidup abadi dan aman
sejahtera. Senang, mulia dan merdeka. Semuanya itu sudah diterapkan dalam hati.
Sehingga berpegang pad dan kuasa-Nya. Semuanya bersih, abadi, suci dan merata
sama posisinya. Sudah mengetahui akan makna kematian yang sebenarnya.
47. Ia tidak takut kapan pun
maut menjemput. Yang sempurna ialah yang diterima oleh Tuhan. Tak akan tampak
wujudnya. Adapun kesempurnaan mati ini. Sekali lagi ialah sudah aman,
sejahtera, mulia. Itulah makna kematian yang sempurna. Yaitu tidak meninggalkan
hak-Nya Ketujuh alam sudah lenyap. Bukankah lenyapnya alam ini sudah jelas?
Kini yang lain ibarat kau sajalaha!
48. Pengusa alam bukankah
sudah kita ketahui? Yang bernawa Abirawa artinya yang berkuasa dan berkehendak.
Adapun tentang alam yang keenam, artinya ialah yang telah lenyap: 1. timur, 2.
barat, 3. utara, 4. selatan, 5. atas. 6. bawah serta kayu dan batu dan diri
kita sendiri. Bila kita telah mati. Yang ada awang uwung kosong dan sepi. Yang
terdengar hanya deru angin, debur air da kobaran api di alam dahana.
49. matahari, bulan, bukankah
yaitu masuk alam juga? Dua puluh tiga alam yang serba nafsu itu. Semuanya baru
kadis belaka. Walaupun bukankah sama dahulunya? Syeh Melaya sudah memahami hal
itu semua? Kalau itu semuanya adalah alam serba nafsu. Dan alam yang
sebenarbenarnya sudah jelas? Penguasa alam semua. Sedang yang menyelaraskan
hanyalah alam anbiyak ini. Alam anbiyak itu baunya harum wewangi.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul:
Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Bagian III)
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke
http://fadhilaizki.blogspot.com/2014/09/suluk-linglung-sunan-kalijaga-bagian-iii.html
. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar :
Posting Komentar