Suluk Linglung Sunan Kalijaga (bagian I)
Rabu, 17 September 2014
0
komentar
KUMBANG
MENGHISAP MADU (PUPUH I)
DHANDHANGGULA
Episode I : Sunan Kalijaga
berhasrat besar mencari ilmu yang menjadi pegangan para Nabi Wali, ibaratnya
kumbang ingin menghisap madu / sari kembang.
1. Bulan Jumadilawwal mulai
menarika pena, Senin Kliwon tanggal pertama, tahun Je saat orang menuai padi,
prasasti penulisan, “Ngerasa sirna sarira Ji”, disadur dari buku Duryat yang
masyhur, maka mohon pengertiannya, bagi pembaca buku ini agar sudi, memberikan
maaf.
2. Syahban kisah seorang Alim
Ulama yang cerdik pandai, yang sudah dapat merasakan mati, mati di dalam hidup,
besar keinginannya, memperoleh petunjuk dari seorang yang sudah menemukan
hakikat kehidupan, yang menyebabkannya melakukan perjalanan, tidak mempedulikan
dampak yang terjadi, bernafsu sekali karena belum memperoleh petunjuk, petunjuk
yang dipegang para Nabi Wali, itulah tujuan yang diharapkan semata-mata.
3. Ling lang ling lung (hati
bimbang pikir bingung) masih tetap mengabdi, walaupun tanpa ada yang membantu,
selalu tergoda oleh nafsunya, karena tidak mampu mengatasinya, berbagai usaha
ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi / mengobati nafsunya,
jangan sampai terlanjur terlatur, puas makan dan tidur, sebab hatinya kalah
perang dengan nafsunya, hanya Allah tempat berserah diri.
4. Ling lang ling lung memohon
kepada Tuha Yang Terpilih, semoga dibukakalah oleh Tuhan Pembuat Nyawa,
sehingga terasa ditenteramkan hatinya, selaras dengan kehendak hatinya, jalan
menuju sembah dan puji, dari keputusasaan hati, sehingga berdoa, tapi tidak mungkin
dimaafkan oleh Tuhan, sebab tidak dapat beribadat dan bersyukur, acakacakan
tanpa disadarinya pengetahuan.
5. Ling lang ling lung
akhirnya diam sendiri, tanpa teman tetapi masih saja ada gejolak batin, saling
bertengkar dengan dirinya sendiri, suaranya tidak lantah / jauh, tapi bukankah
pertengkaran hebat itu tidak akan ada henti-hentinya? Bukankah saling merebut
kemenangan?padahal tidak ada yang disebutkan! Kalau diibaratkan seperti
perebutan Kerajaan Ngastina, sehingga lupa saudara bapak anak istri, jiwa raga
pun tidak dihitung.
6. Ling lang ling lung tak
tahu malu, karena didesak, oleh hasrat mengetahui petunjuk, akhirnya diusahakan
mampu bertapa dan berlapar-lapar, kalau ada teman datang, ikut makan dengan
rakusnya, kalau temannya pergi, tidak makan seumur hidupnya, sebab tidak ada
yang dimakan, ling lang ling lung menuruti kesenangan memperindah diri, selalu
meminta upah.
7. Ling lang ling lung meminta
upah tiada hasil, menagih tak hentihentinya tanpa piutang, yang ditagih diam
saja memang kenyataannya tidak berhutang, yang menagih datang pergi, semua itu
tidak bedanya, dengan Syeh Melaya sendiri, di saat mulai berguru dan bertapa,
kepada Kanjeng Sunan Bonang diperintahkan menunggui tongkat, dan dilarang
meninggalkan tempat.
8. Ling lang ling lung
bukankah dapat dikatakan orang hebat, keinginannya yang kuat serta tekad
batinnya, bila dibandingkan dengan yang lainnya, ada manusia berdarah luhur,
putra Tuban Rahaden Syahid, waktu tua bergelar Sunan Kalijaga, rupanya sudah
lebih dulu mendapat anugerah Kasih Sayang Tuhan Allah Pencipta Nyawa yang sudah
menjadi kemuliaan Tuhan Yang Terpilih, keluar dari kasih Sayang Allah
(Mahabbatullah).
RINDU
KASIH SAYANG (PUPUH II)
ASMARADANA
Episode II : Sunan Kalijaga
berguru kepada Sunan Bonang, serta wejangan-wejangan (petunjuk-petunjuk) yang
diterimanya.
1. Penulis sangat tertarik,
akan cerita yang ia dengar, pada zaman dulu ada sebuah kisah, Kanjeng Sunan
Kalijaga, ketika mencari hakikat hidup, berguru kepada orang yang tinggi
ilmunya, bersunyi diri di desa Benang.
2. Berguru menuntut ilmu sudah
cukup lama, namun merasa belum mendapat manfaat yang nyata, rasanya Cuma
penderitaan yang didapat, sebab disuruh memperbanyak bertapa, oleh Kanjeng
Sunan Bonang, diperintahkan menunggui pohon gurda sudah dilaksanakan, tidak
diperbolehkan meninggalkan tempat.
3. Berada di tengah hutan
belantara, tempat tumbuhnya pohon gurda yang banyak sekali, dengan tenggang
waktu setahun lamanya, kemudian disuruh “ngaluwat” ditanam di tengah hutan.
Setahun kemudian dibongkar, oleh Kanjeng Sunan Bonang.
4. Kemudian diperintahkan
pindah, Tafakur (merenung) di tepi sungai yang nantinya beralih menjadi nama
sebutannya (Kalijaga = menjaga sungai), setahun tidak boleh tidur, ataupun
makan, lalu ditinggal ke Mekah, oleh Sunan Bonang.
5. Nyata sudah genap setahun,
Syeh Melaya ditengok, ditemui masih tafakur saja, Kanjeng Sunan Benang berkata,
Eh Jebeng (anak) sudahilah tafakurmu, berjuluk kamu Wali, penutup yang ikut
menyiarkan agama.
6. Perbaikilah ketidak aturan
yang ada, agama itu tata krama, kesopanan untuk kemuliaan Tuhan Yang Maha
Mengetahui, bila kau berpegang kepada syariat, serta segala ketentuan iman
hidayat, hidayat itu dari Tuhan Allah yang Maha Agung, yang sangat besar
kanugrahan-Nya.
7. Kanugrahan Tuhan Allah,
meliputi dan menimbulkan keluhuran budi, adapun kekuasaan-Nya menumbuhkan
kekuatan luar biasa dan keberanian, serta meliputi segala kebutuhan perang,
yang demikian itu tidak lain adalah anugrah yang besar, paling utama dari
segala yang
utama (keutamaan).
8. Keutamaan ibarat bayi,
siapa pun ingin memelihara, yang mencukupi bayi, menguasai pula terhadap
dirimu, tapi kamu tak punya hak menentukan, karena kau ini juga yang menentukan
Tuhan Allah Yang Maha Agung, karena itu mantapkanlah hatimu dalam pasrah diri
pada-Nya.
9. Syeh Melaya berkata pelan,
sungguh hamba sangat berterima kasih, semua nasihat akan kami junjung tinggi,
tapi hamba memohon kepada guru, mohon agar sekalian dijelaskan, tentang maksud
sebenarnya dari sukma luhur (nyawa yang berderajat tinggi), yang tadi diberi
istilah iman hidayat.
10. Yang harus mantap berserah
diri kepada Tuhan Allah, yang mana yang dimaksud sebenarnya, homba mohon
penjelasan yang sejelasjelasnya; kalau hanya ucapan semat, hamba pun mampu
mengucapkannya, tapi kalau menemui kesalahan hamba ibarat asap belaka, tanpa
guna menjalankan semua yang kukerjakan.
11. Kanjeng Sunan Bonang
menjawab, “Syeh Melaya benar ucapanmu, pada saat bertapa kau bertemu denganku,
yang dimaksud berserah diri ialah, selalu ingat prilaku / pekerjaan, seperti
ketika awal mula diciptakan, bukankah itu sama halnya seperti asap?.
12. Itu tadi seperti hidayat
wening (petunjuk yang jernih), serupa dengan iman hidayat, apakah itu nampak
dengan sebenarnya? Namun ketahuilah itu semua, tidak dapat diduga sebelumnya
dan sesudahnya, sekalipun kau gunakan, dengan mata kepala.
13. Aku ini juga sepertimu,
ingin juga mengetahuinya, tentang hidayat yang sejelas-jelasnya, tapi aku belum
mempunyai kepandaian untuk meraihnya, kejelasan tentang hidayat, hanya
keterangan yang saya percayai, karena keterangan ini berasal dari sabda Tuhan
Allah.
14. Berkata Kanjeng Sunan
Kalijaga, “Bapak guru yang bijaksana, hamba mohon dijelaskan, apakah maksudnya,
ada nama tanpa sifat, ada sifat tanpa nama? Saya mohon petujuk, tinggal itu
yang ingin saya tanyakan yang terakhir kali ini saja”.
15. Sunan Bonang berkata
lemah-lembut, “Kalua kamu ingin keterangan yang jelas tuntas, matikanlah dirimu
sendiri, belajarlah kamu tentang mati, selagi kau masih hidup, bersepi dirilah
kamu kehutan rimba, tapi jangan sampai ketahuan manusia!”.
16. Sudah habis segala
penjelasan yang perlu disampaikan, Kanjeng Sunan Bonang segera meninggalkan
tempat, dari hadapan Sunan Kalijaga, timur laut arah langkah yang dituju,
kira-kira baru beberapa langkah berlalu, Syeh Melaya ikut meninggalkan tempat
itu, masuk hutan belantara.
17. Untuk menjalankan laku
kijang, berbaur dengan kijang menjangan, bila mana ingin tidur, ia mengikuti
cara tidur terbalik, seperti tidurnya kijang, kalau pergi mencari makan
mengikuti, seperti caranya anak kijang.
18. Bila ada manusia yang
mengetahui, para kijang berlari tunggang langgang, Jeng Sunan Kalijaga ikut
berlari kencang, larinya dengan merangkak, seperti larinya kijang,
pontang-panting jangan sampai ketinggalan, mengikuti sepak terjang kijang.
19. Nyata sudah cukup setahun,
Syeh Melaya menjalani laku kijang, bahkan melebihi dari yang telah ditetapkan;
ketika itu Jeng Sunan Bonang, bermaksud shalat ke Mekah, dalam sekejap mata
sudah sampai, setelah shalat segera datang kembali.
20. Kanjeng Sunan Bonang
menuju hutan, melihat kijang sama berlari, sedang anaknya sempoyongan
mengikuti, Sunan Bonang ingat dalam hati, kalau ada Wali berlaku seperti laku
kijang, Syeh Melaya namanya, segera ia mendekati.
21. Syeh Melaya berusaha lari
menjahui, larinya tunggang langgang, tanpa memperhitungkan jurang tebing,
ditubruk tidak tertangkap, dijaring dan diberi jerat, kalau kena jerat dapat
lolos, kalau kena jaring dapat melompati.
22. Marhlah sang guru Sunan
Bonang, bersumpah di dalam hatinya, “Wali Waddat pun aku tak peduli, memanaskan
hati kau kijang, bagiku memegang angin, yang lebih lembut saja tidak pernah
lolos, yang kasar mungkinkah akan gagal!.
23. Kalau tidak berhasil
sekali ini, lebih baik aku tidak usah jadi manusia, lebih pantas kalau jadi
binatang saja!” bergerak penuh amarah jeng Sunan Benang, dan berusaha
menciptakan nasi, tiga kepal tangan telah di siapkan, dan mundur siap dibuat
melempar kijang.
PUPUH
III
DURMA
Episode III : Sunan Kalijaga
diperintahkan ibadah haji ke Mekah dan bertemu dengan Nabi Khidir di tengah
samudera.
1. Sunan Bonang segera
menerobos, ke dalam hutan yang lebih lebat dan sulit dilewati, setelah
benar-benar menemukan, yang sedang laku kijang, yang tengah berlari segera
dilempar, dengan nasi satu kepal, tepat mengenai punggungnya.
2. Syeh Melaya agak lambat
larinya, lalu lemparan yang kedua, mengenai lambungnya, jatuh terduduk Syeh
Melaya, kemudian dilempar lagi, nasi satu kepal, ingat dan sadar kemudian
berbakti pada Sunan Bonang.
3. Dia berlutut mencium kaki
Sunan Bonang, berkata sang guru Sunan Bonang, “Anakku ketahuilah olehmu, bila
kau ingin mendapatkan kepandaian, yang bersifat hidayatullah, naiklah haji,
menuju Mekah dengan hati tulus suci / ikhlas.
4. Ambilah air zam-zam ke
Mekah, itu adalah air yang suci, serta sekaligus mengharap berkah syafaat,
Kanjeng Nabi Muhammad yang menjadi suri tauladan manusia; Syeh Melaya berbakti,
mencium kaki, mohon diri dan segera menuju tujuan.
5. Sunan Bonang sudah lebih
dulu melangkah kaki, menuju desa Benang yang sepi, dan selanjutnya kita ikuti,
perjalanan Syeh Melaya, yang berkehendak naik haji, menuju Mekah, dia menempuh
jalan pintas.
6. Menerobos hutan, naik
gunung turun jurang, tetebingan didakinya, sampai tepi pantai, hatinya bingung,
kesulitan menempuh jalan selanjutnya.
7. Terhalang oleh samudera
yang luas, sejauh mata memandang tampak air semata. Dia diam tercenung lama
sekali memutar otak mencari jalan yang sebaiknya ditempuh, di tepi samudera.
Syahban tersebutlah seorang manusia, yang bernama Sang Pajuningrat, mengetahui
kedatangan seorang yang tengah bingung (Syeh Melaya).
8. Sang Pajuningrat tahu
segala perjalanan yang dialami, oleh Syeh Melaya dengan sejuta keprihatinan,
karena ingin meraih hidayat; berbagai cara telah ditempuh, juga melalui
penghayatan kejiwaan dan berusaha mengungkap berbagai rahasia yang tersembunyi,
namun mustahil dapat menemukan hidayat, kecuali kalau mendapatkan
kanugrahan Allah yang Haq.
9. Syeh Melaya sudah terjun,
merenangi lautan luas, tidak mempedulikan nasib jiwanya sendiri, semakin lama
Suek Melaya, sudah hampir di tengah samudera, mengikuti jalan untu mencapai
hakikat yang tertinggi dari Allah, tidak sampai lama, sampailah di tengah
samudera.
10. Ternyata setelah Sunan
Kalijaga, ada di tengah samudera, penghatannya melihat seseorang, yang sedang
berjalan tenang diatas air, yang berjuluk Nabi Khidir, yang tidak diketahui
dari mana datangnya, bertanya dengan lemah lembut.
11. “Syeh Melaya apa tujuanmu?
Mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Padahal disini tidak ada
apa-apa?! Tidak ada yang dapat dibuktikan, apalagi untuk dimakan, juga untuk
berpakaian pun tak ada”.
12. Yang ada hanyalah daun
kering yang tertiup angin, jatuh di depanku, itu yang saya makan, kalau tidak
ada tentu tidak makan, senangkah kamu dengan melihat ini semua? Kanjeng Sunan
Kalijaga, heran mengetahui penjelasan itu.
13. Nabi Khidir berkata lagi
kepada Sunan Kalijaga, “Cucuku di sini ini, banyak bahayanya, kalau tidak
mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini, di
tempat ini, segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya”.
14. “Mengandalkan pikiranmu
saja masih belum apa-apa, padahal kamu tidak takut mati, kutegaskan sekali
lagi, disini tidak mungkin kau dapatkan yang kau maksudkan!”. Syeh Melaya
bingung hatinya tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab, bahwa dia
tidak mengetahui akan langkah yang sebaiknya perlu ditempuh selanjutnya.
15. Semakin pelan ucapan Syeh
Melaya, Terserah bagaimana baiknya sang guru Nabi Khidir menebak, “Apakah kamu
juga, sangat mengharapkan hidayatullah (petunjuk Allah?” Akhirnya nabi Khidir
menjelaskan, “Ikutilah petunjukku sekarang ini!”.
16. “Menjalankan petunjuk
gurumu, Sunan Bonang sang guru, memberi petunjuk padamu, menyuruh menuju kota
Mekah, dengan keperluan naik haji, maka ketahuilah olehmu, sungguh sulit
menjalankan lika-liku kehidupan itu”.
17. “Jangan pergi kalau belum
tahu yang kutuju, dan jangan makan juga, kalau belum tahu rasanya, rasanya yang
dimakan, jangan berpakaian juga, kalau belum tahu juga kegunaan berpakaian”.
18. “Lebih jelasnya tanyalah
sesama manusia, sekaligus dengan persamaannya, kalau sudah jelas amalkanlah!
Demikianlah seharusnya hidup itu, ibarat ada orang bodoh dari gunung, akan
membeli emas, oleh tukang emas diberi”.
19. “Biarpun kuningan tetap
dianggap emas mulia, demikianlah pula dengan orang berbakti, bila belum yakin
benar, pada siapakah yang harus disembah?” Syeh Melaya ketika mendengar itu,
spontan tertunduk berlutut mohon belas kasihan, stelah mendapati kenyataan
bahwa Nabi Khidir betul-betul serba tahu yang terkandung di hatinya.
20. Dengan duduk bersila dia
berkata, “Yang kami dengar akan kami laksanakan”. Syeh Melaya meminta kasih
sayang, memohon keterangan yang jelas, “Sidpakah nama tuan? Mengapa di sini sendirian?”.
Sang Pajuningrat menjawab, “Sesungguhnya saya ini Nabi Khidir”.
21. Syeh Melaya berkata, “Saya
menghaturkan hormat sedlam-dalamnya kepada tuan junjunganku mohon petunjuk,
adapun saya perlu dikasihani;nSaya juga tidak tahu benar tidaknya pengabdianku
ini. Tidak lebih bedanya dengan hewan di hutan, itupun masih tidak seberapa,
bila mau menyelidiki kesucian diriku ini.
22. Dapat dikatakan lebih
bodoh dungu serta tercela di jagad, menjadi bahan tertawaan di muka bumi; Saya
ibarat keris, tanpa kerangka keris, ibarat bacaan yang tanpa isi yang tersirat.
Maka berkata dengan manisnya Sang Nabi Khidir kepada Sunan Kalijaga.
SANG
NABI KHIDIR (PUPUH IV)
DHANDHANGGULA
Episode IV : Dialog antara
Syeh Melaya dengan Nabi Khidir yang berisikan wejangan tentang hidayatullah dan
kematian dengan berbagai aspeknya.
1. “Jika kamu berkehendak naik
haji ke Mekah, kamu harus tahu tujuan yang sebenarnya menuju Mekah itu.
Ketahuilah, Mekah itu hanyalah tapak tilas saja! Yaitu bekas tempat tinggal
Nabi Ibrahim zaman dulu. Beliulah yang membuat bangunan Ka’bah Masjidil Haram,
serta yang menghiasai Ka’bah itu dengan benda yang berupa batu hitam (Hajar
Aswad) yang bergantung di dinding Ka’bah tanpa digantungkan. Apakah Ka’bah itu
hendak kamu sembah? Kalau itu yang menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya
menyembah berhala / bangunan yang dibuat dari batu”.
2. “Perbuatanmu itu tidak jauh
berbeda dengan yang diperbuat oleh orang kafir, karena hanya sekedar
menduga-duga saja wujud Allah yang yang disembah, dengan senantiasa menghadap
kepada berhalanya”. Oleh karena itu, biarpun kamu sudah naik haji, bila belum
tahu tujuan yang sebenarnya dari ibadah haji, tentu kamu akan rugi besar. Maka
dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kautuju itu, bukannya yang
terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau
kunjungi itu sebenarnya Ka’batullah (Ka’bahAllah). Demikian itu sesungguhnya
iman hidayat yang harus kamu yakinkan dalam hati.
3. Nabi Khidir memerintah,
“Syeh Melaya segeralah kemari secepatnya! Masuklah ke dalam tubuhku!”. Syeh
Melaya terhenyak hatinya, tak dapat dicegah lagi keluarlah tawanya, bahkan
sampai mengeluarkan airmata seraya berkata dengan halus, “Melalui jalan manakah
aku haru masuk ke dalam tubuhmu, padahal saya tinggi besar melebihi tubuhmu,
kira-kira cukupkah? Melalui jalan manakah usaha saya untuk masuk? Padahal
nampak olehku buntu semua!”.
4. Nabi Khidir berkata dengan
lemah-lembut, “Besar mana kamu dengan bumi, semua beserta isinya, hutan rimba
dan samudera serta gunung, tidak bakal penuh bila dimasukkan ke dalam tubuhku,
jangan khawatir bila tidak cukup masuklah di dalam tubuhku ini !”. Syeh Melaya
setelah mendengarnya, semakin takut sekali bersedia melaksanakannya; Menolehlah
Nabi Khidir.
5. “Ini jalan di telinganku
ini, “Syeh Melaya masuk dengan segera, sudah sampai ke dalam tubuh Nabi Khidir.
Melihat samudera luas, tiada bertepi sejauh mata memandang, semakin diamati
semakin jauh tampaknya; Nabi Khidir bertanya keras-keras, “hai apa yang kamu
lihat?” Segera menjawab Syeh Melaya, “Ya jauh, tak ada yang kelihatan”.
6. Syeh Melaya melanjutkan
jawabannya, “Angkasa raya yang kuamati, kosong melompong jauh tidak kelihatan
apa-apa, kemana kakiku melangkah, tidak tahu arah utara selatan, barat timur
pun tidak kami kenal lagi, bahwa dan atas serta muka, juga belakan, saya tidak
mampu membedakan; Bahkan semakin membingungkanku”; Nabi Khidir berkata
lemah-lembut, “Usahakan jangan sampai bingung hatimu”.
7. Tiba-tiba terang kelihatan
di hadapannya Nabi Khidir, Syeh Melaya melihat lagi arah utara selatan, barat
dan timur sudah kelihatan jelas, atas serta bawah, juga sudah terlihat, dan
mampu menjaring matahari, tenang rasanya sebab dpat melihat Nabi Khidir,
rasanya berada di alam yang lain dari yang lain.
8. Kanjeng Nabi Khidir berkata
lembut, “jangan berjalan hanya sekedar berjalan, lihatlah dengan
sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu”. Syeh Melaya menjawab, “ada warna
empat macam, yang nampak padaku, semua itu, sudah tidak kelihatan lagi, hanya
empat macam yang kuingat, yaitu hitam merah kuning dan putih”.
9. Berkata Nabi Khidir, “Yang
pertama kau lihat cahaya, mencorong tapi tidak tahu namanya, ketahuilah itu
adalah pancamaya, yang sebenarnya ada di dalam hatimu sendiri, yang mengatur
dirimu, Pancamaya yang indah itu; disebut muka sifat (mukasyafah), bilaman kamu
mampu membimbing dirimu ke dalam sifat yang terpuji, yaitu sifat yang asli.
10. Maka dari itu jangan asal
bertindak, selidikilah semua bentuk jangan sampai tertipu nafsu, usahakan
semaksimal agar hatimu menduduki sifat asli, perhatikan terus hatimu itu,
supaya tetap dalam jati diri!”. Tentramlah hati Syeh Melaya, setelah mengerti
itu semua, dan baru mantap rasa hatinya serta gembira; adapun yang kuning,
merah, hitam serta putih itu adalah penghalang hatinya.
11. Sebab isi dunia ini sudah
lengkap, yaitu terbagi ke dalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang
tingkah laku, kalau mampu menjahui itu, pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itu
yang menhalangi meningkatkan citra diri, hati yang tiga macam, hitam, merah,
kuning semua itu, menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya, akan
menyatunya dengan Tuhan Yang Membuta Nyawa lagi mulia.
12. Jika tidak tercampur oleh
tiga hal itu, tentu terjadi hilangnya jiwa, abadi senantiasa berdekatan rapat,
nemun perlu diperhatikan dan diingat, dengan saksama, bahwa penghalang yang ada
di hati, mempunyai kelebihan yang perlu kamu ketahui, dan sumber inti
kekuatannya; yakni hitam lebih perkasa, pekerjaannya marah mudah sakit hati,
angkara murka secara membabi buta.
13. Itulah hati yang
mengahalangi, menutup kepada kebijakan, yang demikian itulah pekerjaan si
hitam; Sedang yang berwarna merah, ikut menunjukkan nafsu yang tidak baik,
segala keinginan nafsu keluar, dari si merah, mudah emosi dalam mencapai
tujuan, hingga menutupi kepada hati yang sudah jernih tenang, menuju akhir
hidup yang baik (khusnul khotimah).
14. Adapun yang berwarna
kuning, kemampuannya menanggulangi segala hal, pikiran yang baik akan
menjadikan pekerjaan semakin baik, hati kuninglah yang menghalangi timbulnya
pikiran yang baik, hanya membuat kerusakan, menelantarkan ke jurang kehancuran;
Sedangkan yang putih itulah yang sebenarnya, membuat hati tenang serta suci
tanpa ini itu, pahlawan dalam kedamaian.
15. Hanya itulah yang dapat
dirasakan manusia, akan kesaksiannya sesungguhnya yang terwujud adanya, hanya
menerima kanugrahan semata-mata, hanya itulah yang dapat dilaksanakan. Kalau
tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri dekat Tuhan, maka senantiasa
menghadapi tiga musuh, yang sangat kejam besar dan tinggi hati (sobong), ketiga
musuhmu itu saling kerjasama; Padahal si putih tanpa teman, hanya sendirian
saja, makanya sering dapat dikalahkan.
16. Kalau sekiranya dapat
mengatasi, akan segala kesukaran yang timbul dari tiga hal itu, maka jadilah
persatuan erat terwujud, tanpa berpedoman itu semua tidak akan terjadi
persatuan erat antara manusia dan penciptanya. Syeh Melaya sudah memahaminya
dengan semangat mulia berusaha, diserta tekad membaja, demi mendapatkan pedoman
akhir kehidupan, demi kesempurnaan dekatnya dengan Allah SWT.
17. “Setelah hilang empat
macam warna ada hal lain lagi, nyala satu delapan warnanya”, Syeh Melaya pelan
berkata, “Apakah namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah yang dimaksud
sebenarnya? Nyalanya semakin jelas nyata, ada yang seperti ratna bersinar
(mutiara berkilau), ada yang nampak berubah-rubah warna menyambar-nyambar, ada
yang seperti permata yang berkilat-tajam sinarnya”.
18. Sang luhur budi Nabi
Khidir berpesan, “Hiya itulah sesungguhnya tunggal. Pada dirimu sendiri sudah
tercakup makna di dalamnya, rahasianya terdapat pada dirimu juga, serta seluruh
isi bumi, tergambar pada tubuhmu, dan juga seluruh alam semesta; Dunia kecil
tidak jauh berbeda; Ringkasnya utara barat selatan itu, timur dan atas serat bawah”.
19. “Juga warna hitam merah
kuning putih, itulah isi kehidupan dunia, dunia kecil dan alam semesta, dapat
dikatakan sama isinya, kalau ditimbang dengan yang ada dalam dirimu ini, kalau
hilang warna yang ada, dunia kelihatan kosong, kesulitannya tidak ada,
dikumpulkan kepada wujud rupa Yang Satu, tidak lelaki tidak pula perempuan”.
20. “Sama pula bentuk dengan
bentuk yang ada ini, yang bila dilihat berubah-ubah putih, camkanlah dengan
cermat semua ini”, Syeh melaya mengamati, yang seperti cahaya berganti-ganti
kuning, cahayanya terang-benderang memancar, melingkar mirip pelangi, apakah
itu yang dimaksudkan, wujud dari Dzat yang dicari dan didambakan? Yang
mmerupakan hakikat wujud sejati?”.
21. Nabi Khidir menjawab
dengan lemah-lembut, “Itu bukan yang kau dambakan, yang dapat menguasai segala
keadaan; Yang kamu dambakan tidak dapat kamu lihat, tiada berbentuk apalagi
berwarna, tidak berwujud garis, tidak dapat ditangkap mata, juga tidak
bertempat tinggal, hanya dapat dirasakan oleh orang yang awas mata hatinya,
hanya berupa penggambaran-penggmabaran (simbol) memenuhi jagad-raya, dipegang
tidak dapat”.
22. Bila kamu lihat, yang
nampak seperti seperti berubah-ubah putih, yang terang-benderang sinarnya,
memancarkan sinar yang menyalanyala, Sang Permana itulah sebutannya, hidupnya
ada pada dirimu; Permana itu, menyatu pada dirimu sendiri, tetapi tidak ikut
merasakan suka dan duka, tempat tinggalnya pada ragamu.
23. Tidak ikut suka dan duka,
juga tidak ikut sakit dan menderita, dan jika Sang Permana meninggalkan
tempatnya, raga menjadi tidak berdaya, dan pasti lemahlah seluruh badanmu,
sebab itulah letak kekuatannya; Ikut merasakan, kehidupan bersama nyawa, yaitu
yang berhak merasakan kehidupan, yang mengerti rahasia di dunia.
24. Dan itulah yang sedang
mengenai pada dirimu, seperti diibaratkan bulu pada hewan, yang tumbuh di
sekitar raga, hidupnya karena adanya Permana, dihidupi oleh nyawa yang
mempunyai kelebihan, menguasai seluruh badan, Permana itu bila mati ikut
menanggung, namun bila telah hilang nyawa, kemudian yang hidup hanyalah sukma /
nyawa yang ada.
25. Kehilangan itulah yang
didapatkan , kehidupan nyawalah yang sesungguhnya, yang sudah berlalu
diibaratkan, seperti rasanya pohon yang tidak berbuah, Sang Permana yang
mengetahui dengan sabar, sesungguhnya satu asal, perhatikan secara seksama
penjelasan tadi. Menjawablah Syeh Melaya, “Kalau begitu manakah warna bentuk
yang
sebenarnya?”. Nabi Khidir
berkata.
26. “hal itu tidak dapat kau
pahami di dalam keadaan nyata semata-mata, tidak semudah itu untuk mendapatkannya”,
Syeh Melaya menyela pembicaraan, “Saya mohon pelajaran lagi, sampai paham
betul, sampai tuntas. Saya menyerahkan hidup dan mati, demi mengharapkan tujuan
yang pasti, jangan sampai tanpa hasil”.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul:
Suluk Linglung Sunan Kalijaga (bagian I)
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke
http://fadhilaizki.blogspot.com/2014/09/suluk-linglung-sunan-kalijaga-bagian-i.html
. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar :
Posting Komentar