Gelisah Dalam Kehidupan
Kamis, 11 September 2014
0
komentar
[TANYA] Mas, mengapa sampai dengan sekarang saya
masih merasa galau dengan diri saya sendiri (seingat saya saya mulai
bertanya-tanya tentang diri saya sejak SD sampai dengan sekarang, kurang
lebih 15 th), apalagi setelah saya baca kalimat "Siapa yang mengetahui
dirinya, dia akan mengetahui Tuhannya". Saya sangat berharap dengan
balasannya.Terima kasih atas perhatiannya.* * * * * * *
Sahabat,
seringkah anda dihampiri pertanyaan-pertanyaan seperti 'untuk apa semua
ini? Apakah makna hidup saya? Kenapa hidup saya terasa datar saja,
berputar-putar dari hari ke hari? Hanya pergantian episode senang dan
sedih? Mengapa saya seperti dikuasai oleh kehidupan saya?' pun mulai
muncul di hati anda.Sebenarnya, Allah setiap saat 'memanggil-manggil'
kita untuk kembali kepada-Nya. Dengan cara apa saja. Dia, dengan kasih
sayang-Nya, terkadang membuat suasana kehidupan seorang anak manusia
sedemikian rupa sehingga kalbunya dibuat-Nya 'menoleh' kepada Allah.
Hanya saja, teramat sedikit orang yang mendengarkan, atau berusaha
mendengarkan, panggilan-Nya ini.Allah terkadang membuat kita terus
menerus gelisah, atau terus menerus mempertanyakan 'Siapa diri saya ini
sebenarnya? Apa tujuan saya? Apa makna kehidupan saya?,' dan sebagainya.
Bukankah kegalauan semacam ini adalah sebuah seruan, panggilan supaya
kita mencari kesejatian? Mencari kebenaran? Mencari 'Al-Haqq'? Allah,
percayalah, akan selalu menurunkan pancingan-pancingan pada manusia
untuk mencari-Nya.Dalam hal ini, Allah amatlah pengasih. Apakah
seseorang percaya kepada-Nya atau tidak, beragama atau tidak, Dia tidak
pandang bulu. Apakah seseorang membaca kitab-Nya atau tidak, percaya
pada para utusan-Nya ataupun tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya
dengan cara seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini
untuk mencari kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.Bentuk
'pancingan' semacam ini pula yang dialami oleh para pencari, maupun para
Nabi. Nabi Ibrahim yang gelisah dan mencari tempat mengabdi (ilah),
yang diabadikan dalam QS 6:74-79. Juga kita lihat Nabi Musa, misalnya.
Setelah hanyut di sungai nil, dia dibesarkan oleh salah seorang maha
raja yang terbesar sepanjang sejarah, Ramses I. Hidup dalam kemewahan,
kecukupan, hanya bersenang-senang. Tapi dia selalu 'galau' ketika
melihat di sekelilingnya, bangsa Bani Israil, yang ketika itu menjadi
warga mesir kelas rendahan, sebagai budak. Dia yang hidup dengan ayahnya
Ramses I, tentunya setiap hari melihat sisi kemanusiaan ayahnya, normal
saja. Dia mungkin hanya sedikit heran mengapa masyarakat mesir mau
menyembah ayahnya.Hanya saja, kadang kemewahan, kenyamanan, mengubur
harta kita yang sangat berharga itu: potensi kita untuk mencari siapakah
diri kita sebenarnya. Kita disibukkan oleh pekerjaan, dibuai oleh
kesibukan, mengejar kesuksesan kerja, atau ditipu oleh dalih mengejar
karir atau sekolah, atau nyaman bersama keluarga. Sangat sering, ketika
hal ini terjadi, pertanyaan-pertanyaan esensial seperti itu, yaitu
potensipencarian kebenaran yang kita bawa sejak lahir, yang ketika
kanak-kanak sangat nyata, terkubur dan terlupakan begitu saja seiring
waktu kita menjadi semakin dewasa. Padahal, itu adalah 'potensi mencari
Allah' yang Dia bekali untuk kita ketika lahir. Bukan berarti kita harus
meninggalkan semua itu, bukan sama sekali. Tapi, janganbiarkan semua
itu menenggelamkan potensi pencarian kebenaran yang telah Allah turunkan
pada kita semenjak lahir.Ketika kita tenggelam dalam dunia seperti itu,
kita bahkan tidak menyadari bahwa kehidupan kita berputar-putar saja
dari hari ke hari. Sekolah, mengejar karir, pergi pagi pulang sore,
terima gaji, menikah, membesarkan anak, menyekolahkan anak, pensiun, dan
seterusnya setiap hari, selama bertahun-tahun. Apakah hanya itu?
Bukankah kita tanpa sadar telah terjebak kepada pusaran kehidupan yang
terusberputar-putar saja, tanpa makna? Celakanya, kita mencetak
anak-anak kita untuk mengikuti pola yang sama dengan kita. Pada saatnya
nanti, mungkin hidup mereka pun akan mengulangi putaran-putaran tanpa
makna yang pernah kita tempuh.Sangat jarang orang yang potensi
pencariannya akan Allah belum terkubur. Dalam hal ini, jika kita masih
saja gelisah mencari makna kehidupan, maka kegelisahan kita merupakan
hal yang perlu disyukuri.Berapa orang, sahabat, yang masih mau
mendengarkan kegelisahannya sendiri? Padahal kegelisahannya itu
merupakan rembesan dari jiwa yang menjerit tidak ingin terkubur dalam
kehidupan dunia. Dia 'menjerit' ingin mencari Al-Haqq, dan 'rembesannya'
kadang naik ke permukaan dalam bentuk kegelisahan.Sayang, sebagian
orang segera membantai kegelisahannya, potensi pencarian kebenarannya
ini, justru pada saat ketika ia timbul; karena secara psikologis hal ini
memang terasa tidak nyaman. Maka untuk melupakannya, ia semakin
menenggelamkan diri lebih dalam lagi dalam pekerjaannya, kesibukannya,
bersenang-senang, atau berdalih menutupi kegelisahannya dengan berusaha
lebih lagi mencintai istri dan anak, atau keluarga, menenggelamkan diri
dalam keasyikan hobi... dansebagainya.Atau, membantainya dengan
kesenangan spiritual sesaat, seperti datang ke pengajian bukan dengan
niat mencari-Nya tapi hanya untuk melenyapkan kegelisahannya, seperti
obat sakit kepala saja: ketika sakit kepala, cari obat. Kegelisahan
hilang, dia pun pergi lagi..Atau juga dengan mengindoktrinasi dirinya:
"Manusia diciptakan untuk beribadah!! Segala jawaban telah ada di
Qur'an!!" Oke, tapi ibadah yang seperti apa? Bisakah kita benar-benar
beribadah, tanpa mengetahui maknanya? Atau lebih jauh lagi, mampukah ia
menjangkau makna Qur'an?Beranikah kita jujur pada diri kita sendiri:
Jika qur'an benar, mengapa kegelisahannya tidak hilang? Mengapa qur'an
seperti kitab suci yang tidak teratur susunannya? Mengapa ayatnya kadang
melompat-lompat, dari satu topik ke yang lainnya secara mendadak? Jika
kita beriman, apakah iman itu? Apakah takwa itu? Apakah Lauhul Mahfudz?
Apakah Ad-diin? Apakah Shiratal Mustaqim? Jalan yang lurus yang
bagaimana? Mengapa qur'an terasa abstrak dan tak terjangkau makna
sebenarnya? Inisebenarnya pertanyaan-pertanyaan jujur, dan sama sekali
bukan menghakimi qur'an.Kadang orang terus saja mengindoktrinasi dirinya
sendiri, padahal qur'an sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang mampu
menjangkaunya selain orang-orang yang disucikan/ Al-mutahharuun, (QS
56:77-79). [Q.S. 56] "Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang
sangat mulia (77). Pada kitab yang terpelihara (78). Dan tidak
menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan/ Al-muthahharuun
(79)."Apakah dia berani yakin bahwa dia adalah seorang yang telah
disucikan, sehingga makna qur'an telah terbentang begitu jelas
dihadapannya? Jika demikian, apa implikasi pernyataan : "Semua jawaban
telah ada di Qur'an" baginya? Apakah ia akan terus saja membohongi diri
dengan membaca terjemahan qur'an dan memaksakan diri meyakini bahwa ia
telah mendapatkan maknanya?Jeritan jiwanya tersebut ia timbun dengan
segala cara. Ia tidak ingin mendengarkan-nya. Hal ini, sudah barang
tentu akan membuat seseorang semakin terperangkap saja dalam
rutinitasnya, dan semakin terkuburlah potensi pencariannya akan
kebenaran. Padahal seharusnya 'jeritan jiwa' tersebut didengarkan. Jika
anak kita menangis karena lapar, apakah kita akan pergi bersenang-senang
untuk melupakannya, dan berharap anak kita akan berhenti menangis
dengan sendirinya? Bukankah seharusnya kita mencari tahu, kenapa anak
kita menangis?Kembali kepada kisah Musa as. Demikian pula Musa, ia pun,
sebagaimana kita semua, sejak kecil dibekali pertanyaan-pertanyaan dari
dalam dirinya. Dibekali kegelisahan pencarian kebenaran. Bibit-bibitnya
ada. Allah, untuk menumbuhkan bibit-bibit pencariannya itu supaya tidak
terkubur dalam kemewahan kehidupan istana, menyiramnya dengan
kebingungan yang lebih besar lagi.Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa
ayahnya pernah membantai jutaan bayi lelaki Bani Israil. Ia dipaksaNya
menelan kenyataan bahwa ayahnya menganggap Bani Israil adalah warga
kelas dua yang rendah, bodoh, dan memang patut diperbudak. Puncaknya, ia
dipaksaNya menelan kenyataan bahwa dirinya sendiri ternyata merupakan
seorang anak Bani Israil, keturunan warga budak kelas dua, yang dipungut
dari sungai Nil. Pada saat ini, pada diri seorang Pangeran Musa
lenyaplah sudah hargadirinya. Hancur semua masa lalunya. Dia seorang
tanpa sejarah diri sekarang. Ditambah lagi ia telah membunuh seorang
lelaki, maka larilah ia terlunta-lunta, menggelandang di padang pasir,
mempertanyakan siapa dirinya sebenarnya.Justru, pada saat inilah ia
berangkat dengan pertanyaan terpenting bagi seorang pejalan suluk, yang
telah tumbuh disiram subur oleh Allah dengan air kegalauan: "Siapa
diriku sebenarnya?".Pertanyaan ini telah tumbuh kokoh dalam diri Musa
as., dan sebagaimana kita semua mengetahui kisah lanjutannya, di ujung
padang pasir Madyan ada seorang pembimbing untuk menempuh jalan menuju
Allah ta'ala, yaitu Nabi Syu'aib as, yang lalu menyuruh anaknya untuk
menjemput Musa dan membawa Musa kepadanya.Di bawah bimbingannya, Musa
dididik menempuh jalan taubat, supaya "arafa nafsahu", untuk "arif akan
nafs (jiwa)-nya sendiri". Dan dengan bimbingan Syu'aib akhirnya ia
mengerti dengan sebenar-benarnya (ia telah 'arif), bahwa dirinya
diciptakan Allah sebagai seorang Rasul bagi bangsa Bani Israil, bukan
sebagai seorang pangeran Mesir. Ia menemukan kembali misi hidupnya,
tugas kelahirannya yang untuk apa Allah telah menciptakannya. Ia telah
menemukan untuk apa dia diciptakan, yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:
"Setiap orang dimudahkan untuk mengerjakan apa yang telah Dia
ciptakan untuk itu." (Shahih Bukhari no. 2026)Maka dari itu,
sahabat-sahabat, jika ada diantara anda yang mungkin ingin sekali
bertemu seorang guru sejati, atau seorang mursyid yang Haqq untuk minta
bimbingannya, maka terlebih dahulu anda harus benar-benar mencari Allah,
mencari kebenaran, mencari Al-Haqq. Pertanyaan "Siapakan aku? Untuk apa
aku diciptakan?" harus benar-benar telah tumbuh dalam diri kita (dan
itu pun bukan menjadi jaminan bahwa perjalanannya akan berhasil). Anda
memang telah benar-benar butuh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.
Jika tidak demikian, atau jika belum merasa benar-benar membutuhkan,
percayalah, tidak akan ada seorang mursyid sejati yang akan mengutus
anak-anaknya untuk menjemput anda."Man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa
rabbahu", bukan semata-mata artinya "siapa yang mengenal dirinya, maka
mengenal Tuhannya." Kata " 'Arafa", juga "Ma'rifat," berasal dari kata
'arif, yang bermakna 'sepenuhnya memahami', 'mengetahui kebenarannya
dengan sebenar-benarnya'; dan bukan sekedar mengetahui. dan nafsahu
berasal dari kata 'nafs', salah satu dari tiga unsur yang membentuk
manusia (Jasad, nafs, dan ruh).Jadi, kurang lebih maknanya adalah
"barangsiapa yang 'arif (sebenar-benarnya telah mengetahui) akan
nafs-nya, maka akan 'arif pula akan Rabbnya". Jalan untuk mengenal
kebenaran hakiki, mengenal Allah, hanyalah dengan mengenal nafs terlebih
dahulu.Setelah arif akan nafs kita sendiri, lalu 'arif akan Rabb kita,
maka setelah itu kita baru bisa memulai melangkah di atas
'Ad-diin'.'Arif akan Rabb, atau dalam bahasa Arab disebut
'Ma'rifatullah' (meng-'arifi Allah dengan sebenar-benarnya), sebenarnya
barulah --awal--perjalanan, bukan tujuan akhir perjalanan sebagaimana
dipahamikebanyakan orang. Salah seorang sahabat Rasul selalu
mengatakankalimatnya yang terkenal: "Awaluddiina ma'rifatullah", Awalnya
diinadalah ma'rifat (meng-'arif-i) Allah.
Dikutip dari : http://quran-et-sains.blogspot.com
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul:
Gelisah Dalam Kehidupan
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke
http://fadhilaizki.blogspot.com/2014/09/gelisah-dalam-kehidupan.html
. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar :
Posting Komentar